Suatu pagi ketika matahari menyembulkan kemewahannya sebuah koran terserak di halaman depan rumah dengan terikat seutas karet berwarna kuning. Bukan saya yang memesan tapi Bapak bahkan berlangganan. Mungkin sudah sebulan Bapak berlangganan koran, sejak bulan kemarin koran itu selalu tiba pada pagi hari di pekarangan depan rumah. Sebuah berita, yang menurut Nietzsche adalah sesuatu kekonyolan murni yang terlalu manusiawi. Di koran itu ada sebuah berita yang membuat geli betul. Dikabarkan bahwa Malaysia Bebaskan 13 Nelayan Sumut.
Yurisdiksi dan demarkasi teritori dibuat oleh para penguasa dari semenjak kita belum tergelar ke dunia ini, telah diyakini, dan dipraktekkan turun-temurun sebagai suatu hal yang harus, untuk mengetahui satu wilayah ke wilayah lain. Saya tak akan menelisik batas yurisdiksi ataupun garis demarkasi lebih jauh, yang nantinya bakal mirip advokat-advokat a la Indonesia Lawyers Club yang memang murahan itu namun, jika menelisik sedikit saja, kalian akan menemukan sesuatu yang menggelikan.
Coba kalian pikirkan ikan yang bertelur di wilayah Indonesia lalu menetas menjadi anak ikan yang kebetulan lewat di laut Malaysia, kemudian ikan itu diklaim menjadi milik Malaysia oleh orang Malaysia yang ber-KTP Malaysia. Begitu pun sebaliknya. Hal itu sama dengan awan yang tadinya ada di langit Indonesia, karena tertiup angin awan itu berpindah ke Malaysia? Awan siapakah yang ada di langit itu? Milik orang Malaysia atau orang Indonesia? Jika ada yang lebih konyol dari itu, sudah kuduga itu adalah diri kalian sendiri yang terlalu manusiawi itu.
Tiba-tibapun saya jadi teringat lagu milik Milisi Kecoa yang dikasih judul Ganyang Nasionalisme. “saat kau sibuk mengklaim budaya dan tradisi/ lalu dipatenkan sebagai hak milik/ aku tak sepakat denganmu/ budaya dan tradisi tak pernah bertuan/ ganyang saja nasionalisme/ isu ganyang mengganyang adalah ilusi yang membuatmu lupa/ akan betapa miskinnya mayoritas dari kita semua secara ekonomi.”
Ada apa antara Ganyang Nasionalisme dan 13 Nelayan Sumut yang telah Dibebaskan oleh Aparat Malaysia?
Pada 8 tahun lalu kita semua tentu ingat atau setidaknya pernah dengar kabar bahwa telah terjadi konflik tradisi/budaya antara Indonesia dengan Malaysia berdasarkan batas-batas negara, tegasnya; memperebutkan hak kekayaan bangsa, persis pada perkara hari ini jika Apple dan Samsung menggelar sidang untuk memenangkan hak paten produk mereka dan di beberapa titik dimenangkan oleh Samsung. Karena pada banyak kasus, batas-batas negara adalah buatan budaya yang umurnya jauh lebih muda dibandingkan budaya-budaya yang sedang diperebutkan tersebut.
Masih tersimpan rapi dalam ingatan pada saat gencarnya pengklaiman produk budaya bangsa kebanyakan dari kita mendadak lupa, tentang kenyataan betapa miskinnya mayoritas manusia dalam bidang ekonomi. Masih di tahun perseteruan budaya, mendadak pula kita tak ingat, jika dulur-dulur kalian baru saja dipecat dari pekerjaannya, putus asa memikirkan biaya makan dan sekolah anaknya.
Pertanyaan kemudian adalah siapakah yang betul-betul berhak mengklaim suatu kebudayaan tertentu? Mereka adalah masyarakat adat yang telah turun-temurun mempertahankan kebudayaan mereka sendiri. Kenyataannya adalah bahwa setiap negara manapun akan berlaku demikian jika terjadi konflik seperti Indonesia Vs Malaysia ini. Yah kan, kebudayaan lokal pun menjadi sumber devisa negara juga. Ironisnya cuma sepersekian persennya saja yang sampai ke tangan masyarakat adat.
Global Positioning System
Para nelayan yang ditangkap umumnya adalah nelayan tradisional yang cuma menggunakan alat navigasi kompas. Mungkin mereka sama sekali tak pernah mendengar istilah Global Positioning System. Yang mereka tahu cuma menangkap ikan sebanyak-banyaknya lewat cara mengarungi samudera luas membentang, dan setelah pulang mereka bisa menyisihkan hasil tangkapan untuk dimakan bersama keluarga, dan sebagiannya bisa dijual, sehingga uang yang didapat bisa memenuhi kebutuhan lain-lain, seperti sekolah, membeli buku, atau seragam sekolah.
Apa yang para nelayan tradisional tahu tentang GPS? Apakah mungkin jika seorang lulusan Harvard University memilih jalan hidupnya untuk menjadi seorang nelayan? Andai iya, mungkin orang itu akan tahu apa itu Global Positioning System [GPS]. Namun apakah ada, terutama, mau?
Bagi saya bukanlah suatu kesalahan jika nelayan (atau kita juga saya) yang ada di belahan bumi manapun mengarungi samudera berkelimpahan ikan segar yang bulat-luas [namun tak tumpah] kemanapun inginnya. Hal ini pun semakin mengafirmasi bahwa peribahasa jika bumi dan isinya itu dapat dinikmati seluruh umat manusia yang ada di muka bumi adalah nihilitas yang dikompromisir, suatu ide “pemerataan ekonomi” itu memang berak muncrat kemana tahu, yang ada cumalah milik orang-orang tertentu, dan atau lebih tepatnya planet ini (tanah yang kalian pijaki) adalah milik korporat, birokrat, aparat! Trias demonica.
Sejak kecil kita telah terbiasa dengan ide bahwa bumi ini terbagi-bagi atas teritori-teritori dan setiap teritori memiliki penguasa, dan penguasa ada untuk kebaikan rakyatnya. Lalu kita semua mesti bertanya-tanya, benarkah sudah seperti itu? Bangsa muncul karena ada sebuah ide sedangkan negara dibuat untuk membuat bangsa makmur, sehat, dan pintar. Kita dipaksa lagi bertanya atas pengetahuan yang baru lewat itu, sudah terjadikah pada pada hari ini? Kondisi struktural dan kultural apa yang sungguh-sungguh kita perlukan? Atau jangan-jangan kita tidak perlu keduanya? Meh.
Dan katamu yang tak waras akal sambil mengusap-usap ingus berkata dengan gagahnya lewat megapon yang dipinjam dari marbot tajug “hei, urusan kita bukan urusan bikin kebijakan publik, man!?” Oke urusan kita memang bukan demikian tapi asal kau tahu urusan kita adalah kebebasan dan kemerdekaan buat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Urusan kecil namun menjadi kompleks dan sangat politis!
Adalah hak kita semua untuk meragukan sebuah pemeo klasik bahwa; bukan apa yang negara berikan buat kita, tapi apa yang mampu kita berikan untuk negara.
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …