Apa yang kita rasakan ketika kita tidak atau belum mampu menjawab sebuah pertanyaan? Atau sebaliknya, apa yang dirasakan ketika kita mampu menjawab sebuah persoalan? Lebih lagi, apa yang kita rasakan saat kita menemukan jawaban sebelum pertanyaannya itu sendiri yang datang lebih dulu?
Sebelum kita menjawabnya, saya ingin menceritakan satu cerita yang sebenarnya sederhana, dan cenderung terkesan remeh. Pengalaman saya ini bermula ketika sedang dalam perjalanan pergi ke dan pulang dari acara sekatenan, tepatnya di alun-alun utara kota Yogyakarta.
Entah kenapa, lalu lintas sekitaran kota tampak berbeda. Bukan soal tatanan bentuk jalan perlalu-lintasan yang berubah, melainkan banyak sekali mobil-mobil antik yang turun ke jalan. Macam jamur, mobil-mobil itu seolah tersebar di beberapa jalur perjalan pulang-pergi saya malam itu.
Bagi seorang mahasiswa perantau yang masih belum khatam situasi-situasi khusus di Jogja seperti saya ini, merasakan hal tersebut merupakan pemandangan yang tumben—pake’ banget—terjadi. Lurus dikit, ketemu. Belok dikit, ketemu. Sampai di persimpangan lampu merah, sebiji bahkan lebih pun kedapatan sedang asyik menebar pesona klasik khasnya.
Akibatnya, timbullah satu tanda tanya besar di benak saya. Apa yang sebenarnya terjadi pada (situasi) lalu lintas Jogja saat itu?
Tepat ketika dalam perjalanan pulang, tiba-tiba saja saya teringat dengan sebuah foto event pameran mobil antik yang dimuat salah satu koran harian edisi 19 November 2017 yang saya lihat pada minggu pagi sebelumnya. Kabarnya, event itu bertempat di gedung Jogja Expo Center (JEC) dan hari itu merupakan hari terakhir acaranya digelar.
Menyadari ingatan itu, akhirnya saya menemukan jawaban atas asal-usul dari banyaknya mobil antik yang berkeliaran di jalanan. Meski terbilang asumtif, paling tidak kesimpulan saya ini masih berkorelasi dan cukup masuk akal.
Intinya, surat kabar yang sempat saya tengok itu, secara tidak langsung memberikan sebuah ‘persiapan’. Ketika rasa penasaran mengetuk kepala, informasi yang saya dapatkan sebelumnya tadi seakan memperlihatkan sebuah clue jawaban atas hasrat keingintahuan saya sendiri.
Sebelum dihinggapi sebuah persoalan, saya seakan-akan sudah memiliki jawabannya sendiri. Jawaban itu pun dapat juga dikatakan: muncul dari diri sendiri. Bila dicermati, ‘keberhasilan’ tersebut diakibatkan oleh kegiatan saya yang sempat membolak-balik lembaran koran. Sekali lagi, sebelum keingintahuan soal asal-usul dari banyaknya mobil-mobil antik yang “berserakan” itu muncul; dan terngiang di kepala.
Sebagai manusia, kita memang dibekali hasrat ingin tahu sejak kecil. Akibat dorongan ingin tahu itu, manusia akan cenderung memunculkan berbagai pertanyaan dan mencari jawaban mengenai hal yang dipertanyakannya.
Menurut Suryabrata (1983:3), “Hasrat ingin tahu manusia akan terpuaskan kalau dia memperoleh pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakannya, dan yang diinginkannya.”
Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang belum atau tidak mampu mengatasi hasrat keingintahuannya sendiri? Katakanlah, rasa ingin tahu itu telah menyembulkan berbagai pertanyaan dan persoalan sehingga menuntut pemecahan. Sebuah jawaban atau mungkin solusi.
Kegelisahan biasanya akan hadir dalam diri seseorang yang belum menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Artinya, jika keingintahuan tersebut belum menemukan jawaban, selama itulah tekanan akan bergelayut: tergantung dengan tingkat ‘kerumitan’ dari versi persoalan pada setiap masing-masing orang.
Banyaknya bentuk serta jenis pertanyaan dan beragamnya masalah, alangkah senangnya apabila kita berhasil menghadapinya.
Namun, permasalahannya adalah: bagaimana cara menjawab ragam persoalan yang dikoleksi oleh semesta untuk ‘ditugasi’ menghampiri setiap manusia di sepanjang sejarah hidupnya?
Dalam kacamata ‘minimalis’ saya, jawabannya adalah: “teruslah belajar sampai ke negeri Cina.” Bagi saya, kita bisa mengatakan bahwa belajar, baik melalui jalur ilmiah dan non-ilmiah, atau melalui jalur formal maupun informal sekalipun; merupakan cara menghadapi, menjawab, dan mengatasi suatu persoalan yang datang bertamu.
Ada banyak sekali ragam segi persoalan yang berpotensi; hampir pasti dihadapi setiap manusia. Mulai dari kehidupan sosial, ekonomi, sampai percintaan pun mempunyai ragam teori. Bahkan, bagaimana cara kita selaku manusia menjadi sebenar-benarnya manusiapun bisa ditelusuri dan diketahui.
Pada akhirnya, memang seruan untuk belajarlah menjadi ujungnya. Namun di samping itu, kita juga harus melihat setiap kemampuan manusia dalam menyikapi kambuhnya hasrat keingintahuan; yang masing-masing berbeda. Motivasi, adalah salah satu faktor yang umumnya dipandang esensial mempengaruhi hal tersebut.
Berkaca kembali pada pengalaman yang sudah tuliskan di awal tadi, mari kita coba membandingkan dua ‘sindikat’ dasar motivasi kita dalam ‘melayani’ hasrat ingin tahu, menjawab persoalan, dan menemukan solusi permasalahan.
Manakah yang lebih baik, sedia payung sebelum hujan atau hujan dulu, baru beli payung? Pertanyaan lain, menyiapkan senjata sebelum lonceng perang berbunyi atau mendengar lonceng berbunyi dulu, baru mencari-cari senjata?
Bukankah quote kesehetan sering bilang: “mencegah lebih baik daripada mengobati,” kan?
Andai saja, pertanyaan saya ihwal alasan mobil-mobil antik yang—tumben-tumbenan—“berserak” tadi tidak sempat terjawab segera, boleh jadi, saya akan terus kepikiran sepanjang di perjalanan pulang. Fokus selama berkendara bisa saja terpecah dan memperlebar pintu risiko celaka di jalan raya: jatuh nabrakin tiang lampu merah, misalnya.
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …