“Selama lima tahun ini sudah lebih dari 50 pemuda dan pemudi hilang tanpa jejak. Para penyelidik dari kepolisian angkat tangan. Apa ini tidak ganjil? Dari banyaknya jumlah yang hilang tidak ada satu pun yang ketemu? Walikota pun menutup mata atas kasus ini dan lebih memilih untuk fokus mengawasi pembangunan dinding di perbatasan Kota Hujan dan Kota Koral. Apa hilangnya remaja-remaja berhubungan dengan pembangunan dinding? Atau ada hubungannya dengan hujan yang diturunkan Anuhea? Karena banyak saksi yang mengatakan bahwa para pemuda dan pemudi anggota fanatik dari Sekte Pemuja Anuhea itu sering terlihat di sekitaran hutan sebelum akhirnya lenyap begitu saja . .” – Amar Amadeus, ditukil dari artikelnya di kolom Berita Pembaruan edisi 75 Hal. 3.
“Lono mati.”
Marni yang mendengar perkataan Buba, suaminya, hanya bisa melengos sambil mengurut dada. Ini sudah ketiga kalinya kuda peliharaan mereka mati karena kehausan dan kelaparan. Cuaca panas yang ekstrem meluluhlantakkan Kota Koral. Matahari merah yang menggelayut di langit tampak terlihat dua kali lebih besar dari matahari di kota-kota lain. Kekeringan hinggap di tiap sektor kota. Retakan-retakan tanah kering membelah di sepanjang lahan perkebunan dan pertanian. Bangkai hewan-hewan pengerat berserakan di tiap halaman rumah. Populasi hewan bekurang setengahnya. Tanaman-tanaman gagal bertunas. Ekosistem lumpuh. Imbasnya untuk Buba dan Marni, koboi-koboi yang biasa menyewa kuda-kuda milik mereka untuk berburu sudah tak menampakkan batang hidungnya lagi. Mereka semua lebih memilih merampok toko kelontong dan bank kecil di kota sebelah.
“Sejuta topan badai! Persediaan air yang kita punya hanya tersisa untuk dua hari ke depan! Koboi-koboi brengsek itu lebih berisiko menukar nyawanya di kota tetangga daripada mati dehidrasi saat berburu nanti. Mungkin juga hewan-hewan di hutan sudah pada mati karena cuaca panas sialan ini, “keluh Marni.” Bibirnya kering, peluh membanjiri sekujur tubuhnya.
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Di cuaca seperti ini, aku tidak bisa berpikir..“ Buba menjatuhkan tubuhnya di atas kursi goyang. Bayangan kuda-kudanya yang terkapar di dalam istal masih menghantui pikirannya.
“Kau jual kuda-kuda yang tersisa di Pasar Gelap.”
Buba tampak berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kita pindah ke Kota Hujan saja?”
“Sejuta topan badai! Kau tidak melihat kalau mereka sudah mulai membangun dinding perbatasan? Orang-orang kota lain sudah tidak bisa keluar masuk kota itu seenaknya lagi. Seandainya bisa pun, birokrasinya pasti berbelit. Kita tak punya uang untuk menyuap petugas. Maka dari itu, kau jual dulu itu kuda-kuda, setelahnya baru kita pikirkan lagi.”
“Aku punya rencana lain,” sahut Buba.
“Apa itu?”
***
Alkisah, di sebuah hutan di tepi Kota Hujan, hiduplah seorang gadis bernama Anuhea yang konon bisa memanggil atau menurunkan hujan lewat senandungnya. Orang-orang luar Kota Hujan yang tadinya mengira kisah ini hanya bualan akan langsung mengubah persepsinya jika mendengar sebuah senandung seorang perempuan, yang entah dinyanyikan dari mana, tiba-tiba berkumandang. Karena bersamaan dengan senandung itu, petir akan menggelegar, awan menghitam, kemudian menyusul rintik hujan turun dengan derasnya. Tidak pernah sehari pun kota itu dilanda kekeringan.
Tidak pernah ada yang tahu seperti apa rupa Anuhea. Begitu juga dengan pencetusan nama Anuhea. Nama itu menguar begitu saja bak aroma petrikor saat hujan turun. Ada yang mengatakan dia adalah nenek tua renta berusia tujuh puluh tahun yang menghabiskan hari-harinya di kursi roda dan kamar bau. Ada juga yang mengatakan Anuhea adalah seorang janda muda kesepian yang ditinggal suaminya pergi berperang. Dan ada juga yang mengatakan Anuhea adalah seorang gadis muda kaya raya berusia belasan yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Tapi semuanya tidak pernah terbukti. Hanya saja ada kesamaan dari kesaksian-kesaksian bias itu. Semuanya mengatakan bahwa Anuhea tinggal di sebuah reruntuhan arkais era perang kolonial di dalam hutan di tepi Kota Hujan.
Berbondong-bondong orang berusaha mendedah misteri ini. Sebagian dari mereka ada yang ingin memperkenalkan Anuhea ke khalayak ramai sebagai simbol dan penyelamat kota. Sebagian lagi ingin memanfaatkan Anuhea sebagai rekan bisnis semata. Sebagian lagi hanya penasaran dengan rupa Anuhea dan kemampuannya memanggil hujan. Sayangnya, tidak pernah ada orang yang berhasil. Malahan semuanya berakhir tragis. Kebanyakan dari orang-orang itu hilang tanpa jejak. Yang berhasil kembali pun biasanya sudah linglung serta kehilangan akal sehatnya. Tiga orang saksi yang mengaku pernah melihat Anuhea dalam berbagai wujud akhirnya mati digantung di depan halaman walikota karena kebohongan mereka. Lucu sekali rasanya, mengingat mereka tidak pernah terbukti melihat Anuhea, dan orang-orang dengan yakinnya memasuki hutan itu berbekal keterangan simpang siur yang menyerupai imajinasi orang mabuk.
Ah, ya. Anuhea tidak serta merta bersenandung memanggil hujan begitu saja. Memang dia kadang suka bersenandung semaunya, namun senandungnya itu tidak begitu terdengar jika tidak dilakukan ritual-ritual khusus. Sampai sekarang masih menjadi pertanyaan bagaimana bisa senandung lembut Anuhea terdengar ke seantero kota. Seperti ada ratusan pelantam tak terlihat yang tersebar di kota. Dengan adanya ritual, senandung magis Anuhea akan terdengar lebih lantang dan hujan pun akan bertahan lebih lama.
Ritual dilaksanakan dengan cara mengarak sepasang kucing jantan dan betina yang berasal dari Utara dan Selatan Kota, dan menjadikan mereka seperti sepasang pengantin. Arak-arakan dibawa ke tepi hutan tempat tinggal Anuhea sembari diiringi tarian dan tepukan kendang. Para penari menggunakan kostum dan topeng berbagai jenis burung. Mulai dari burung gagak, gereja, merpati, elang sampai burung hantu. Sedangkan penepuk kendang menaiki kuda-kuda asal Kota Koral yang telah dihiasi dengan sayap dan tanduk buatan. Setelah membakar kemenyan dan memecahkan dua buah kelapa, pasangan pengantin kucing dimandikan selama satu menit di sebuah gentong yang berisikan tampungan air hujan, sebelum akhirnya dilepaskan ke dalam hutan. Kenduri dan makan bersama di sekitaran tepi hutan dilakukan sebagai penutup.
Buba mendengar cerita-cerita itu di tiap warung kopi yang ia singgahi. Kepada pembeli kuda di Pasar Gelap, ia tak lupa menanyakan jalan lain untuk memasuki Kota Hujan selain lewat jalan utama. Setelah warung kopi ke lima dia sambangi, dia tidak lagi berniat berlama-lama di Kota Hujan. Berbekal ilmu berburu yang dia dapat dari koboi-koboi pembeli kudanya dulu, Buba segera menyiapkan bekal dan peralatannya. Kala hari mulai gelap, dia menuntun kudanya menuju hutan.
***
“Sejuta topan badai!”
“Tutup mulutmu, Marni. Ini satu-satu caranya”
“Dengan menculik dan membawanya ke sini? Sejuta topan badai!”
Buba tidak mengindahkan perkataan Marni. Dia membuka selotip di mulut perempuan yang kemarin dia culik. Perempuan yang menurutnya adalah Anuhea si pemanggil hujan. Perempuan itu berwajah kumal. Rambutnya kusut masai. Pakaiannya pun berlumuran lumpur. Tepukan Buba di wajahnya menyadarkan perempuan itu dari tidur singkatnya. Buba sempat membiusnya agar tidak melawan. Mata perempuan itu kini menatap sepasang suami istri tersebut dengan nyalang. Tubuhnya gemetar karena ketakutan. Dia memberontak, mencoba melepaskan bebatan tambang di kedua pergelangan tangannya.
“Kau yakin ini perempuan yang katanya bisa memanggil hujan? Sejuta topan badai..,” bisik Marni tak yakin. Amarahnya mulai mereda, dan tanpa sadar, menjustifikasi perbuatan suaminya.
“Hanya dia satu-satunya perempuan yang kutemukan di reruntuhan dalam hutan itu,” jawab Buba sembari memantik rokok.
Hati-hati, Marni mendekati perempuan itu. Bau keringat dan tanah kering tercium tajam dari tubuh si perempuan. Perempuan dekil ini bisa memanggil hujan? Aku tidak percaya, batin Marni.
“Dinding-batukan mereka!”
Perempuan itu tiba-tiba berteriak. Buba dan Marni bertukar pandangan. Bingung.
“Dinding-batukan mereka!”
“Sejuta topan badai. Perempuan ini gila, Buba. Kau menculik orang yang salah,” desis Marni
“Dinding-batukan mereka! Hahaha! Hahaha!”
“Diam kau, jalang!”
Buba memukul wajah perempuan itu keras-keras hingga dia terkapar. Sembari memegang wajahnya yang mulai berlumur darah, perempuan itu tertawa menyeramkan. Buba menendang perempuan itu sekali lagi untuk membungkan tawanya.
Samar-samar, Buba mendengar perempuan itu membisikkan sesuatu,
“Apa katamu?”
“Seribu puja-puji kepada Anuhea!” perempuan itu berteriak lagi. Darah bermuncratan keluar dari mulutnya.
“Jangan banyak bacot! Cepat bernyanyi! Panggil hujannya! Kami semua sudah tidak tahan lagi! Cepat panggil! Panggil!“ Buba menghajar si perempuan berkali-kali seperti orang kerasukan. Sengatan panas mendidihkan murka dalam dirinya. Marni yang melihat itu hanya bisa terkekeh kering.
“Sejuta topan badai! Dasar suami goblok. Kau menculik perempuan yang salah. Perempuan pemanggil hujan itu tidak ada. Dia tidak pernah ada.”
***
“Bang Barok, ada berita terbaru!”
Di pagi yang berawan, Giraud, seorang jurnalis muda memasuki kedai 24 jam dengan tergesa-gesa. Seniornya, pria berusia tiga puluh tahunan bersetelan jas lusuh menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. Asap dari cerutu yang diisapnya mengepul tebal bak halimun di pegunungan.
“Jangan kau berikan aku berita yang sama seperti Buletin Pembaruan. Cari berita baru.”
“Hmm, sebenarnya ini berhubungan juga dengan apa yang ditulis Amar Amadeus itu.”
“Tentang Sekte Pemuja Anuhea yang menjadi tumbal?”
“Kok Bang Barok tahu? Amar kan tidak menulis tentang itu di artikelnya…”
“Kau ini ditanya malah balik tanya!” Barok melonggarkan ikatan dasinya. “Santoso, Editor Buletin Pembaruan yang mengatakan itu padaku. Sebenarnya, Amar menuliskan tentang itu, tapi Santoso menghapusnya dengan alasan tak etis.”
“Yah, memang itu tadinya yang mau kusampaikan. Itu teori yang sempat diembuskan Amar sebelum dia lenyap…”
“…, atau dilenyapkan” potong Barok. “Yang menjadi pertanyaan, jika benar mereka menjadi tumbal. Tumbal untuk apa? Hujan Anuhea? Tidak mungkin. Anuhea sudah menurunkan hujan jauh sebelum kasus ini beredar. Pembangunan dinding? Masuk akal. Anuhea lalu mereka kambinghitamkan. Kenapa? Karena mereka tahu Anuhea tidak akan melawan. Toh, dia sudah seperti tokoh fiktif. Legenda. Sampai saat ini kita belum bisa membuktikan keberadaannya. Mungkin juga itu cerita yang dikarang walikota dan para petinggi kota ini turun temurun untuk sebuah alasan.”
“Tapi mengenai senandung itu?”
“Ini zaman pasca modern, anak muda. Ada seribu cara untuk melakukannya. Kita hanya belum mengetahuinya saja.”
Sehabis Barok berkata begitu, suara senandung yang tak asing terdengar dari kejauhan. Giraud dan Barok membuang pandangan ke jalanan yang mulai ditikam rintik-rintik air. Rintik air itu lama kelamaan menjadi deras. Disusul angin yang berembus amat kencang, nyaris menyerupai badai di luar sana. TV di dalam kedai menyiarkan bahwa ada tornado yang bergerak menuju perbatasan tempat dinding raksasa itu dibangun.
Giraud dan Barok saling bertukar pandangan. Terlepas dari percaya atau tidaknya mereka dengan keberadaan Anuhea, mereka berdua yakin hujan hari ini akan menjadi hujan terbesar sepanjang sejarah Kota Hujan.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …