Persoalan mengelola keuangan kian menjadi pelik di kehidupan dewasa ini, khususnya bagi kita yang lahir pada rentang 1977-1995 atau yang kerap disebut generasi milenial. Sebuah generasi yang menandai perubahan abad, dari era 1900 ke 2000 (era milenial). Harga bahan pokok yang semakin hari makin meninggi yang diperparah dengan melemahnya rupiah di mata dolar membuat banyak dari kita ditunggangi kekalutan yang seolah tak berkesudahan. Tidakkah terminologi milenial terdengar sangat menggelikan belakangan ini?
Tapi apapun itu ada persoalan yang dihimpit oleh Ana Kurniasari, seorang ibu rumah tangga yang memiliki balita berusia 20 bulan mengatakan bahwa pengeluarannya terkadang tak berbanding lurus dengan pendapatan suaminya. Ana kini hidup di rumah kontrakan di daerah selatan Jakarta. Untuk bisa hidup “layak” ia mesti pandai mengelola keuangannya agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Sekarang ini listrik, air, bahkan popok pada naik dan saya harus betul-betul berhemat karena penghasilan suami tak lebih dari 5 juta rupiah,” ungkap ibu rumah tangga yang menyambi sebagai pelapak daring itu.
Survei yang dilakukan oleh situs jual beli Rumah123 menyebut, 4 tahun dari sekarang hanya 5 persen generasi yang disebut milenial yang akan sanggup membeli rumah secara mandiri. Sisanya 95 persen entah akan tinggal di mana. Sementara itu generasi ‘milenial’ Jakarta yang penghasilan tahunannya di atas Rp 200 juta atau dengan kata lain gajinya di atas 16 juta per bulan hanya 4 persen saja.
Jafar Mirdad, seseorang yang bekerja pada sebuah perusahaan teknologi mengaku bahwa saat ini penghasilannya 14 juta rupiah dengan istri yang tidak bekerja. Kini ia tinggal di sebuah apartemen di ujung selatan Jakarta dan memiliki seorang balita. “Namun, penghasilan segitu belum benar-benar memenuhi ekspektasi, memang bisa menyisihkan sedikit penghasilan untuk investasi kecil-kecilan, tapi itu masih aja kurang,” tuturnya. Pada akhir pekan Jafar rutin mengerjakan proyek di luar kantor untuk menambah pundi-pundi rupiah, sampai-sampai ia terkena tipes. Alhasil, proyek pun tertunda beberapa minggu.
Sebentar, bukankah ini yang disebut dengan perang primal, perang paling fundamental yang seorang buruh, manusia biasa, kecuali Bruce Wayne, yang diperjuangkan setiap harinya: bertahan hidup. Tak kurang dan juga tak lebih. Bukanlah perang kelas yang seringkali digemborkan sebagian orang.
Mayoritas populasi yang lahir dari 1977-1995 memang ada kecenderungan ‘tak serius’ dalam mengelola keuangan untuk mempersiapkan kehidupan pada hari esok. Generasi ini memang dikenal dengan generasi yang hobi sekali hura-hura yang ironisnya seolah gegar budaya terhadap perkembangan teknologi digital. Seperti plesiran, kongkow tanpa bisa melepas gadget generasi teranyar di genggaman, membeli pakaian, dan lain-lain tanpa memikirkan hari esok akan makan apa dan harus bagaimana. Seakan hidup hanya untuk hari ini.
Dikutip Weforum.org data menunjukkan restoran adalah tempat pemberhentian terfavorit bagi aliran uang milik ‘milenial’ di Amerika Serikat, sebanyak 23,8 persen pengeluaran ‘milenial’ untuk makan di restoran. Pengeluaran milenial di restoran melebihi generasi lainnya seperti generasi X yang hanya mengeluarkan 17,7 persen dan baby boomers 12,8 persen. Sedangkan baby boomers lebih memilih menghabiskan 27,2 persen pengeluarannya untuk membeli bahan makanan.
Milenial memiliki gaya hidup lebih aktif. Jarang di rumah, selalu dalam perjalanan. Lincah. Sekitar 17,7 persen dari pengeluaran milenial berakhir di toko-toko elektronika. Mengeluarkan uang pada hal-hal yang sebagian besar yang bersifat jangka pendek, komposisinya pun mencapai 70 persen. Milenial lebih memprioritaskan hal-hal jangka pendek dibandingkan yang bersifat jangka panjang. Sesuatu yang wajar belaka.
Maka itu untuk pergi ke restoran yang fotogenik pun praktis perlu biaya tambahan seperti mengenakan pakaian yang bagus dengan harga yang tidak murah, jam tangan yang mentereng, sepatu yang menawan yang nantinya semua itu akan diunggah di akun media sosial masing-masing, dan tentu saja untuk bisa sampai ke tempat tersebut perlu membeli bensin, bukan? Kondisi ini tak jauh berbeda dengan so called Indonesian millenial, mudah bagi kita menemukan tempat untuk berkongkow ria bersama sejawat lainnya dengan pikiran bebas tanpa beban. Sebebas Slim Shady menggampar total mumble rapper di album Kamikaze.
Meski terkesan menyeramkan bukan berarti tak ada solusi sama sekali untuk keluar dari hal-hal yang membuat milenial ini makin terpuruk dan membusuk di kos-kosan Tegal Parang terpojok dan tersembunyi hingga suara mereka pun tak terdengar secuil bunyi. Ivana Tjahyadi, seorang analis dan penasihat keuangan yang juga berasal dari ‘generasi milenial’ menyebutkan ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengelola keuangan bagi generasi ini. Pertama, menentukan dengan jelas ke mana uang yang mereka dapatkan dan gunakan. Misalnya saja apakah penghasilan mereka akan diinvestasikan, ditabung, dibelanjakan, diputarkan untuk bisnis kecil-kecilan namun berkelanjutan, semua itu harus dengan porsi yang jelas.
Tanpa kontrol yang memadai bisa berbahaya bagi arus keuangan mereka. Apalagi jika memang penghasilannya ngepas nan ngepress. Tukang bangunan bilang jangan sampai lebih besar paku daripada palu. Ra mashooooook bang Ijal...
Kedua, milenial memiliki lebih dari dua rekening bank, seringkali pengeluaran yang diatur itu tidak jelas dari rekening mana, persis seperti yang dikatakan Deny Putra, yang kini bekerja di sebuah perusahaan jasa digital consulting. Untuk itu penting kiranya memerhatikan peruntukkan setiap rekening yang dimiliki.
Ketiga, tidak memikirkan apalagi menyiapkan dana pensiun. Seperti milenial yang bekerja menjadi buruh produksi ataupun kantoran misalnya yang mendapat jaminan pensiun dari Badan Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Tetapi, besarannya hanya 40 persen dari gaji atau pendapatan terakhir. Bagaimana jika buruh kontraktual? Tentu dana pensiun itu hanya angan-angan belaka. Lagipula UMR Jakarta jauh dari pantas untuk memenuhi Kebutuhan Layak Hidup. Tak heran jika tak sedikit para buruh-buruh di Jakarta juga memiliki usaha sampingan seperti warung sembako yang lalu mempekerjakan orang. Buruh yang bos. Pun sebaliknya. Atau berbuat apapunlah yang dapat menambah pundi-pundi rupiah.
Ana Kurniasari juga menyebut ia pun kini hanya beli barang yang memang benar-benar dibutuhkan saja, bahkan tak jarang ia memasak di rumah dan menghindari makan di luar. Walaupun pendapatan suaminya tergolong ngepas nan ngepress Ana mengaku tetap menyisihkan uang untuk menabung setiap bulan, mengatur belanja bulanan sesuai kebutuhan. Meskipun tergoda berbelanja, Ana tetap berusaha keras untuk menghindari memborong baju, tas, make-up, gadget jika semua masih dalam kondisi layak pakai.
Keempat, tak sedikit dari milenial yang memaksakan diri untuk membeli rumah KPR di luar kemampuan daya beli, lengkap dengan mobil di dalamnya. Jelas ini bahaya bagi arus keuangan yang sehat, bisa jadi malah akan membuat hutang menumpuk, untuk itu hindarilah perbuatan ini jika memang tak sanggup untuk membayar hutang setiap bulannya. Bisa-bisa didatangi Dinasti Penagih Hutang Dari Timur.
Kelima, jika pun harus berhutang maka wajib untuk memahami yang namanya credit score di BI Checking. Rekam jejak kredit yang bersih dan tak bermasalah akan mempermudah proses pengajuan pinjaman berikutnya. Sebaliknya, bank akan menolak pengajuan pinjaman jika rekam jejak kredit dalam BI Checking bermasalah. Pandai-pandailah mengatur antara hutang yang harus dibayar dan untuk hidup sehari-hari.
Untuk mengatur keuangan perempuan memang terbukti lebih handal ketimbang para pria. Umumnya, perempuan memang dianggap sebagai pengelola keuangan yang baik. Survey on Financial Inclusial and Access (SOFIA) hasil inisiasi antara Indonesia, Australia dan Swiss mengungkapkan bahwa perempuan dianggap lebih andal dalam mengelola keuangan. SOFIA bahkan merekomendasikan lembaga keuangan dapat lebih melibatkan banyak peran perempuan di lembaga tersebut. Maka tak heran Menteri Keuangan Republik Indonesia saat ini pun diduduki oleh seorang perempuan yang tak lain adalah Sri Mulyani Indrawati.
Namun, generasi ini perlu mencamkan satu hal: masa depan tidak kalah penting dari hari ini. Jadi, kalau menabung dari sisa-sisa hari ini, maka konsep pemikiran masa depan tentu saja adalah sisa-sisa dari hari ini. Untuk itu praktis diperlukan peninjauan berkala terhadap pola pengeluaran. Tak ada pilihan lain. Misalnya, mencermati cara membelanjakan serta prioritas pengeluaran harian dan bulanan dengan melakukan pencatatan. Dengan data dari pencatatan ini, secara umum generasi milenial bisa membagi kategori pengeluaran dalam beberapa kelompok konsumsi, tabungan atau investasi dan juga sosial.
Dengan demikian kita bisa melihat di kelompok mana yang paling sering membelanjakan uang, di situlah sumber informasi tentang kondisi keuangan saat ini. Bila terlalu besar dikonsumsi sedangkan nihilnya kontribusi di kategori tabungan atau investasi, akan sulit bagi milenial untuk mewujudkan tujuan jangka panjangnya. Ada banyak sekali tools untuk melakukan pencatatan agar terukur. Sekitar 14 persen perempuan lebih mungkin berpartisipasi dalam rencana penghematan dibandingkan laki-laki.
Membatasi pengeluaran harian kita merupakan cara paling ampuh untuk mencegah keborosan. Tentukan budget untuk setiap pos-pos pengeluaran. Seperti yang dikatakan Ana Kurniasari, sesuaikan dengan kebutuhan. Seandainya kebutuhan hidup untuk satu hari adalah Rp 60 ribu. Maka siapkan Rp 110 ribu per harinya. Gunakan yang Rp 60 ribu untuk biaya konsumsi, transportasi, dan sebagainya, dan simpan Rp 50 ribu sisanya untuk kebutuhan yang tak terduga. Hal ini cukup ampuh dilakukan untuk mencegah membeli hal-hal yang tidak penting.
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …