Kau menyalakan televisi untuk membunuh rasa sepi, tapi dirimu makin karib dengan kesunyian. Kau menyalakan radio, kau tidak bisa konsentrasi, kau bukan manusia serbabisa dalam satu kerja. Kau memandangku. Aku tahu, kau tak suka diatur. Kau menolak aku. Lebih tepatnya kamu menolak fasis dan otoriter. Kau punya kehendak bebas. Dan aku, apa boleh buat. Kubiarkan kau bebas dengan cerita dan peristiwamu itu. Aku memandangmu dari belakang. Tapi, itu 2 hari yang lalu di kamarku. Sekarang, hari ini, ada sesuatu yang ingin kau dengar dariku. Masih, di kamarku, kau butuh piknik untuk mencegah bunuh diri dari rutinitas kerja yang membosankan.
Pada akhirnya kau akan tahu bahwa apa yang aku sampaikan ini muaranya pada kesementaraan. Kau bisa mengatakan ini itu, apapun yang kausukai. Seperti cerita yang akan kusampaikan padamu. Kau bisa mengangguk mafhum atau bisa minggat saja untuk tidak membaca atau mendengar kisah ini sampai akhir. Karena, seperti yang kukatakan di awal: bahwa ini sementara, dan kau bisa mengisi lebih banyak lagi lubang-lubang yang ingin kau isi atau kau sukai. Kau bisa bahas ini, itu dan anu, dan sebenarnya kau tidak beranjak ke mana-mana.
Kau mengatur posisi dudukmu. Menyalakan lilin dengan macis klub sepakbola kesayanganmu. Mati lampu ini atau mati listrik atau semacamnya ini membuat kau mau mendengarkan kisahku. Sebelumnya kau terlampau sibuk, kau bukan hanya tidak mau mendengar kisahku atau ada waktu untuk itu—tapi kau sendiri pun tidak ada waktu untuk mendengar suara-suara dari dalam pikiranmu sendiri, itu pun jika pikiranmu mau kau gunakan.
Aku mengamatimu.
Kau bertanya, mau dimulai darimana. Aku jawab, dari pertikaian. Kau kembali bertanya, pertikaian yang mana? Pertikaian yang memakan banyak korban, jawabku. Maka dimulailah ceritaku dari sini.
Kisah Sepanjang dan Batavia 1740
Pembunuhan massal mencapai puncak pada 10 Oktober 1740. Orang mungkin hanya mengenal Fatahillah dari kota yang pernah mengangkat namanya: Jayakarta. Kota itu dulu merana dengan nama yang cukup jatmika pemberian orang tua dari Belanda: Batavia. Tapi tidak.
Batavia tak mungkin hilang dari ingatan sebagai tempat kelahiran nama-nama agung. Pangeran Laut, Sunan Gunung Jati, Sultan Hasanudin Banten dan nama lainnya. Mereka tidak secara langsung berhasil mendudukkan Jakarta pada posisi bebas dan merdeka. Perjuangan itu lewat tangan Jepang yang mengalahkan kompeni. Sekali lagi, kau tentu akan menyebut Fatahillah, salah satunya, atau satu-satunya nama yang kau hapal di luar kepala. Tapi, kau harus tahu. Di balik nama-nama yang kusebut tadi, kau tidak menyebut Sepanjang? Oh.
Pada akhir bulan September 1740 terlihat gerombolan Tionghoa berkumpul di pabrik gula di Gandaria. Mereka dipimpin oleh seseorang yang di kalangan kompeni biasa disebut Khe (Que) Panjang. Tokoh yang kelak menempati posisi sentral dalam geger pecinan di Batavia tahun 1740. Oleh masyarakat Jawa dikenal dengan nama Sepanjang atau Kapitan Sepanjang. Namun, siapa nama sebenarnya dari pemimpin pemberontakan tersebut belum dapat diketahui dengan pasti. Seperti aku yang sedang bercerita padamu, dan kau mendengarnya dengan cukup khidmat.
Kapitan Sepanjang hilang. Ia memintaku untuk melanjutkan cerita yang lain. Lanjutkanlah kisahmu, ia seperti berkata padaku dalam mimpi yang terjaga. Di saat Kapitan memintaku melanjutkan cerita, kau mulai menyalakan rokok. Untuk mengusir bosan, katamu.
3030, 2039 dan Angka yang Kerap Disebut
Ini tahun 2039 seperti kata pengarang lainnya, atau 3030, atau 1965, atau 1998, atau 1945, atau 1928, atau berapa pun aku tak terlalu tahu. Aku berhasil menemukan mesin waktu setelah Kapitan Sepanjang berbicara padaku. Benar-benar bicara secara harfiah. Setelah di tahun 1740 itu, ia memanduku ke masa-masa yang saling sengkarut. Aku tak terlalu paham, tapi aku menikmati perjalanan-perjalanan itu.
Aku dan Tjalie Robinson Saling Bercerita
Tjalie pernah menulis seri cerita yang kemudian di tahun 1965 dibukukan dengan judul Piekerans van een straatslijper (Pikiran-Pikiran Tukang Keluyuran). Dalam buku itu Tjalie melukiskan dua dunia masa mudanya, yaitu dunia orang-orang Indo-Belanda yang tinggal di masyarakat pinggiran, yakni pinggiran masyarakat Belanda (Eropa), di kampung-kampung yang hidup pada perbatasan antara dua lingkungan kebudayaan yang berbeda-beda. Kau memotong ceritaku dan bertanya, bagaimana ceritanya. Aku jawab, kau akan tahu sampai aku berada pada bagian akhir cerita. Kau tak percaya. Aku tertawa.
Skenario Menggaet Berita
Iwan duduk di salah satu gedung dan lembaga yang amat penting. Institusi keuangan. Sambil menenteng kamera, ia jalan ke sana ke mari. Petugas keamanan lewat. Tukang parkir memandu mobil yang baru masuk. Ia menggeleng. Tidak ada peristiwa penting, batinnya dalam hati. Bersama rekannya, Andi—mereka berdua sebenarnya tidak terlalu nyaman berada di desk ekonomi. Mereka lebih senang ditempatkan di rubrik olahraga atau seni. Tapi, apa boleh buat, mereka wartawan baru, dan seperti sistem kapitalis bekerja, maka cita-cita yang didengungkan Marx akan masyarakat tanpa kelas, harus ditahan dulu.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke pusat kota, Ndi?” tanya Iwan. “Maksudmu?”
“Iya, kalau kita di sini terus, tidak akan ada yang bisa digaet, atau sesuatu yang ‘wah’ untuk peningkatan karir kita.”
“Maksudmu?”
“Sudah, ayo ikut aku.”
Iwan dengan kameranya, pergi meninggalkan Andi yang masih belum memutuskan untuk ikut dengannya atau tidak.
**
Suara dentuman terdengar amat kencang. 7 detik kemudian, terdengar suara orang-orang meraung dan berdengung seperti lalat yang mengerubungi ikan segar di pasar. 5 detik lagi, suara kedua bergema ke mana-mana. Polisi datang dengan berbagai pirantinya: kendaraan, pistol, dan alat perlengkapan keamanan lainnya. Jalan raya dari berbagai arah ditutup. Masyarakat mulai berkerubung ke sumber suara. Polisi langsung menghadang agar tidak ada orang-orang mendekat. Dari sumber suara pertama, tepatnya dari depan kantor dan institusi keuangan negara, ada 5 orang tergeletak dengan sekujur merah dan hitam di tubuhnya.
WIDE SHOT
Orang ramai berkerumun mendekat ke institusi keuangan negara. Orang-orang mulai berpencar setelah polisi menutup seluruh ruas jalan dan memberikan peringatan menjauh dari lokasi ledakan.
WIDE SHOT
Di antara orang-orang yang mulai berpencar, muncul satu orang dengan pakaian serba hitam mengacungkan pistol ke arah kerumunan yang mulai hilang.
MEDIUM SHOT
Badan dan beserta tas yang dikenakan pria berpistol.
CLOSE UP
Wajah. Hanya wajah.
ESTABLISHED SHOT
Jalan protokol sepi. Hanya ada 5 orang dengan sekujur tubuh merah dan hitam masih tergeletak tak bernyawa. Polisi menyisir dari arah timur menuju belakang tempat kejadian perkara.
Dengan foto yang barusan didapat, Iwan tersenyum tipis, sementara Andi sibuk dengan ponselnya membaca kata-kata yang terus asyik masyuk beredar tanpa jelas titiknya.
Sarmento dan Dilema
Sar sedang kebingungan. Masalahnya adalah teman-temannya di Sanggar Babeh Goyang sedang terkena wabah snob. Setelah melihat pementasan kabaret di Galeri Indonesia Kaya, teman-teman Sar sekarang sedang menggandrungi pentas kabaret. Kitsch. Ketika Sar bertanya, kenapa kalian tidak mau ngelenong jago lagi, temannya menjawab: kami mulai bosan dengan Pitung, Jampang, Mirah, Gobang, Sambuk dan Sabeni. Mereka bosan dengan tuan tanah, drama domestik rumah tangga dan berputar dalam pusaran yang itu-itu saja menurutnya.
Kami ingin dapat banyak pundi kalau bermain kabaret. Tempatnya bisa di mana saja. Dan banyak yang nanggap kami dari mulai sekolah, mal, pusat perbelanjaan, pernikahan, sunatan dan senarai acara lainnya. Begitu kata teman-teman Sar. Raut muka Sar mengeluarkan guratan kecewa. Kini jiwa dan hasratnya terombang-ambing lenggang kangkung nyiur melambai tak tentu arah.
***
Kau bertanya mengapa diriku bisa bercerita tentang hal-hal yang mengasyikan sekaligus menyebalkan. Aku menjawab, kota ini, Jakarta adalah museum penghancur dokumen seperti yang dikatakan Malna. Karena di sini tersimpan banyak rongsokan. Dan beberapa emas hasil jarahan, serta kertas-kertas tua yang kemudian hanya didiamkan.
Kau masih mendengarkanku, lalu kau membuka laptop, dan mengetik: sahibul hikayat, namun kau ragu, karena kau tak begitu tahu tentang itu, meski saat ini aku sebenarnya sedang melakukan itu dengan pernak-pernik lainnya. Kau menghapusnya dan mengganti: masih belum judul. Kau bertanya,
“Bisakah kau ulangi kisah-kisah yang kau ceritakan padaku tadi?”
“Untuk apa?” Kataku.
“Aku tak ingin ditelan oleh ombak dan polusi kata-kata yang lalu lalang, tanpa aku ketahui dengan baik dan melewatkan begitu saja kisah-kisah penting, karena kedunguanku sendiri.”
Tak ada kisah yang penting-penting amat, kataku.
“Maksudmu?”
Kau punya pikiran, dan kisah hidup yang kau jalani. Kau mencoba menempel apa pun ya name dropping itu genit, yang kau anggap luhung dan penting itu? Ya, tak ada yang salah. Tapi bila kau menganggap dengan menempel kisah-kisah yang kau anggap hebat itu untuk gagah-gagahan dan agar dibilang keren saja, hmm itu menyedihkan buatku.
“Lalu apa yang mesti kulakukan?”
Kau punya pikiran dan selera, aku tak bisa memaksamu. Seperti kota ini yang kadang suka memaksakan kehendak bila ada yang berbeda darinya.
“Jadi, kau benci dengan kota ini? Pun dengan para eskponen cum pemimpin itu?”
Tidak, aku kadung suka dengan kelebihan dan kekurangan-kekurangannya yang membuatku tumbuh dengan baik di kota ini. Perasaan pun dirawat dengan akal sehat.
“Kau suka sekali mengkritik, apa kau benci sekali dengan sosok-sosok itu? Lalu kenapa kamu mengkritik? Memang kamu paham tentang tata kota dan sebagainya itu?”
Memang kalau mengkritik itu harus paham tata kota, administrasi negara, hukum dan sebagainya? Seperti, apakah kita harus punya nama dulu untuk berkarya? Klise yang murni.
“Lalu, coba terangkan padaku, mengapa kau harus bercerita?”
Kau mengalihkan pertanyaanku. 2 hari yang lalu kau meminta agar kau bisa jadi terkenal. Entah dengan cara apa pun. Kau minta ajarkan bagaimana bisa menulis dan menjadi terkenal. Aku tertawa. Lelucon yang amat buruk dan menyedihkan. Kau ingin menulis agar dikenal, ingin disebut abadi, katamu. Andy Warhol mungkin tersenyum, tapi Pram, Tjalie Robinson, S.M Ardan, Kapiten Sepanjang—sekadar menyebut nama, mungkin sedang meringis dalam kuburnya ketika mendengar apa yang kau inginkan dari tujuanmu menulis. Kau tahu ucapan Warhol tentang alegori 15 menitnya?
“Apa?”
Semua akan terkenal dalam waktu 15 menit. Eh, kau sadar tidak?
“Apa?”
Lilin kita masih menyala meski listrik sudah menyala daritadi. Kita tak sadar karena terlalu asik ngobrol, ujarku.
Sebagai sahibulbait—tuan rumah, aku seperti sahibul hikayat—juru cerita untuk temanku yang sedang main di rumahku di sela-sela kesibukannya bekerja sebagai pegawai swasta suatu bank. Aku memandang lilin yang masih menyala. Kau memandang lilin yang masih menyala. Sementara jarum jam menunjuk angka-angka yang tak kami ketahui pasti letaknya. Dan, di kota ini, lilin terus menyala. Terus menyala…
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …