Siapa lagi manusia di Bumi yang nggak pernah mantengin program-program televisi berlabel Reality Show? Kalok ada yang sok-sok-an bilang nggak pernah, saya cuma mau bilang kalau ente nggak pernah nontonin tipi!
Sebenernya, nggak ada yang salah sama program genre ini. Temen-temen broadcast di kampus juga sudah pasti-mesti bergelut sama cikal-bakal reality show itu sendiri. Entah di abad sekian, program-program ini memang sudah dapat tempat beserta dengan ragam konsep dan sub-formatnya.
Alur dramatis adalah hal yang dirasa paling identik dengan program-program jenis ini. Sesuai dengan namanya, Reality Show harusnya natural, alias dibentuk tanpa skrip. Idealnya, nyata itulah yang disuguhkan.
Tapi, makin kesini, realitasnya itu kok makin saru, ya? Sejak program Katakan Suka dan Terkekeh-kekeh dulu, keabu-abuan real-nya mulai kentara. Sampai program bertajuk Rumah Ayu, Bikin Ngekek, dan Katakan Talak pun makin memperbanyak jumlah tontonan yang mestinya “asli”, menjadi scripted. Terancang dan direncanakan.
Kesuksesan Terkekeh-kekeh mendulang rating—sebelum “dibubarkan”—kala itu, membuat program-program yang similiar-mirip terus digarap. Seolah (diolah) nyata, “korban-korban” rating itu mengudara bak jamur di tipi-tipi nasional kita.
Efek dramatisasi emosi dan keterlibatan para kru (termasuk host) dijadikan komodifikasi oleh program-program pada sub-format reality show model ini. Alurnya macam main masak-masak detektif-detektifan dengan host beserta para awak kru yang membantu mencari keberadaan atau mengekori gerak-gerik target yang masuk dalam list DPO dari para klien yang berganti-ganti di tiap episodenya. Dan kliennya? Ya jelas, ikut pula diasumsikan sebagai “klien berbayar”.
Paling beda, ya ‘Rumah Ayu’ tadi. Sub-formatnya mungkin lebih masuk ke acara talkshow. Sayangya, kesan adanya pra-adegan dari para bintang tamu berstatus non-artis yang dipandu oleh host berlabel tuan rumah dan sosok penasihat ahli di tengah-tengah kerumanan penonton bayarannya tersebut memang bikin sengak!
Gimana enggak, cobak? Program Rumah Ayu itu banyak menampilkan obrolan marah-marah dan sengketa masalah yang semu antar bintang tamu. Host-nya bertindak sebagai moderator, kadang main (maaf) nyerocos ngelemparin pertanyaan-pertanyaan sok interogatif dan penasihat ahli tadi, “beberapa kadang” diberi kesempatan menanggapi. Sampai akhir jam tayang kehabisan durasipun, tanda-tanda mufakat damai tak jua nampak.
Meski memiliki diferensiasi, reality show tetaplah alat media. Di mana kepentingan industrialis berupa profit dan rating audiens berlaku sebagai poros kreatifitas. Sehingga, jangan heran dengan pola kejar tayang a la sinetron terpaksa diadopsi. Musti digarap terus, keterusan digarap jadi monoton dan repetitif. Sampai akhirnya, mau nggak mau, realitas fiktif harus ikut-ikutan masuk.
Akibatnya, wajar saja apabila seorang Nigel Barker mengatakan bahwa kebanyakan program reality show telah gagal karena semua orang yang terlibat, sedang berakting. Mengacu pada Nigel, reality show berubah konyol karena cueknya mengotak-atik meskipun sudah tahu dengan banyaknya anggapan publik, bahkan teguran dari KPK. Eh, KPI maksudnya.
Namun nyatanya, reality show itu lebih lucu dibanding acara komedi yang kadang-kadang kelewat batas. Kenapa? Karena kalok komedi cuma bisa bikin ketawa tok! Titik. Kalo reality show? Bikin kita bego sok-sok sinis gitu. Udah tahu setingan, masih juga dipantengin. Ulala….!
Televisi masih jadi medium primadona masyarakat dalam hal konsumsi media. Dengan tampilnya program Terkekeh-kekeh dan antek-anteknya itu, membuat “kelucuan-kelucuan” yang sebenernya berlapis. Layaknya tertawa di depan cermin. Tunjuk lucu, tertunjuk pula diri sendiri.
Antara kurang hiburan, kecanduan ber-voyeur ria sama yang dibuat-buat, atau memang bener-bener kelewat polos, sih? Kita keterusan mengonsumsi hal-hal yang bikin kesel sendiri, cuma buat ngelemparin sinis berkali-kali. Sadar bakalan kesel, kok malah dilahap lagi dan lagi? Itu sebabnya, kita jadi ikut-ikutan repetitif dan terus-terusan lebay sendiri.
Nah, kalau begini terus mah, pantes aja, tiap kali Young Lex atau Awkarin ngerilis video di Youtube, tetep rame diintipin viewers. Ya, apalagi kalau bukan buat dinyinyirin? Boom!
Sementara itu, kita ngotot nggak mau dibilang seragam. Gitu? O Aja Ya Kan?
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …