Rak bukuku makin penuh. Entahlah apakah ini hal yang baik atau malah buruk bagi diriku. Ada dua hal yang berkaitan dengannya.
Pertama, dengan semakin bertambahnya buku di rak itu berarti rak bukuku akan penuh sebab masih banyak space sehingga berbagai buku dapat berjejeran dengan gagah yang siap mengombang-ambing pikiran laksana bajak laut Viking di atas perahu yang diombang-ambing samudera saat menuju kerajaan Northingdam untuk menjarah emas. Paling tidak, tak sia-sia rak itu berpanjang 1 meter 40 cm. Itu.
Kedua, dan ini memang masalahnya, banyak buku yang belum dibaca sementara di lain waktu saya malah membeli buku lagi, di kesempatan lain membelinya lagi, lagi, dan lagi. Saya memang belum sampai ke taraf hoarder book, tapi sepertinya hoarder book bermula dari situ. Bedanya dengan mereka, saya sadar betul buku-buku yang dibeli berjenis apa saja. Tidak asal. Dan yang jelas kebiasaan ini tidaklah serupa dengan Novel Rumah Kertas besutan Carlos Maria Dominguez.
Suatu kali kawanku pernah berkata jika ia begitu boros karena terus-terusan membeli kaus (merch band) dengan dalih supporting artist yang menasbihkan diri di jalur DIY (Do It Youself). Kupikir itu memang hal yang tepat, pada awalnya.
Sebagaimana pembenaran awalnya memang terdengar heroik seolah dengan begitu ia menyelamatkan kelangsungan hidup dari band itu. Di ruang lain itu bisa saja benar dan karenanya memancing perdebatan. Etos DIY sendiri, sependek yang kuketahui adalah saling mendukung satu dengan yang lain. Namun, pada kenyataan lain kawanku juga rajin membeli merchs/kaus ‘luar’ yang secara ekonomi band itu telah mapan. Bisakah pembenaran itu digunakan dalam hal ini?
Oh, jelas malah pembenarannya kini terpatahkan.
Awalnya, saya pun menggunakan pembenaran macam-macam kenapa saya suka sekali membeli buku yang padahal banyak buku di kali lain dibeli dan belum sempat menuntaskannya. Semacam hutang yang belum lunas tandas.
Ah, bisa jadi ini hanyalah hasrat konsumtif belaka yang menonjol pada diri masing-masing kami atau manusia modern pada umumnya. Masuk akal. Sebab keadaan memungkinkannya. Tetapi maksud saya, kenapa saya dan si kawan harus sibuk merangkai pembenaran terhadap apa yang disukai? Toh kalau suka ya suka saja. Cukup. Tak perlu rasanya mencari pembenaran ke sana ke mari yang lama-lama malah bikin mual sendiri.
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …