Gelombang aksi dukung-mendukung salah satu pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden periode 2019-2024 sepertinya belum akan surut, kendati waktu pencoblosan kian dekat. Yang terbaru, alumni dari beberapa perguruan tinggi (kampus) mendeklarasikan dukungan kepada calon presiden Jokowi. Belakangan juga mucul aksi serupa, beberapa alumni mendeklarasikan diri mendukung Prabowo Subianto.
Fenomena dukung-mendukung yang kian populer terutama dari alumni kampus, bisa dimaknai sebagai pertanda bahwa kaum muda terpelajar (intelektual) tak lagi apatis pada dunia poltik. Ceruk inilah yang sepertinya dimanfaatkan betul oleh masing-masing paslon untuk menambah suara pada pemilu 17 April mendatang. Ibarat dua sisi mata uang, fenomena tersebut juga patut dipertanyakan. Alumni sebagai bagian dari kaum intelektual kampus, alih-alih menguji para kandidat dengan pertanyaan tajam, lulusan kampus justru semacam merendahkan diri menjadi sekadar pemandu sorak (cheerleaders) politisi idola. Sungguh menyedihkan.
Dalam pemilihan umum, kaum intelektual tentu diharapkan sumbangsihnya. Tidak berlebihan jika mereka memiliki peran yang signifikan atas kualitas kampanye pemilihan. Dengan menguji, mereka mendorong kandidat untuk lebih akuntabel dan transparan: bukan hanya umbar janji, asal bicara berslogan abstrak. Para kandidat juga akan dicegah dan diingatkan untuk tidak memakai sentimen emosional yang membelah serta rawan konflik. Tapi, sayang sekali, itu tak terjadi. Para alumni kampus justru ikut membakar emosi dalam iklim pemilihan yang makin terpolarisasi.
Kekelirun Logika
Sudah dua periode pemilihan presiden dan wakil presiden (2014 dan 2019) kita hanya punya dua pasangan calon untuk dipilih: Jokowi dan Prabowo. Fenomena itulah yang memicu munculnya cara berpikir biner (binary): kalau tidak ini pastilah itu. Kalau tidak pro-Jokowi pastilah pro-Prabowo dan sebaliknya. Bahkan lebih jauh lagi, kritik atau pujian terhadap pemerintah akan dipandang punya motif politik jangka pendek: Anda pro-petahana (yang memerintah) atau oposisi. Dengan kata lain: Kalau kau tidak berdiri di pihakku, kau pasti musuhku. Kekeliruan logika (logical fallacy) inilah yang menurut hemat penulis mengemuka dalam beberapa tahun terakhir. Dan trennya makin menguat menuju pemilihan mendatang.
Dalam persaingan yang kian sengit: kedua pihak seringkali memanfaatkan slogan yang makin sophisticated (canggih). Yang satu memakai dalih mulia agama (calon pilihan ulama), yang lain memakai dalih mulia menyelamatkan demokrasi dari kediktatoran (anti-Orde Baru).
Tapi, jargon “palsu” itu hanya membuat logical fallacy tadi menjadi makin kuat dan terlembaga. Pemilihan umum, yang tujuannya hanya sesederhana memilih pengelola negara, diglorifikasi sebagai Padang Kurusetra, tempat Pandawa (ksatria) versus Kurawa (durjana) bertarung hidup-mati dalam Perang Baratayuda, sebuah epos berbahasa Jawa Kuno karya Mpu Sedah pada tahun 1157 M. Mudah-mudahan itu hanya kekhawatiran penulis saja, tidak sampai mengakibatkan konflik terbuka dan berdarah.
Mencari Solusi
Saat ini negeri kita tengah menghadapi permasalahan yang kompleks mulai dari ketimpangan, kerusakan alam baik di darat maupun laut, lemahnya produksi pertanian, ketergantungan berlebihan pada impor, dan lemahnya modal sosial. Tidak hanya itu, menurut laporan WHO tahun 2018 Indonesia tercatat 7,8 juta dari 23 juta balita adalah penderita stunting atau sekitar 35,6 persen. Sebanyak 18,5 persen kategori sangat pendek dan 17,1 persen kategori pendek.
Deretan masalah tersebut tentu membutuhkan solusi segera. Barangkali jika mengerahkan seluruh energi kreatif, kita masih akan terengah-engah untuk menghadapi berbagai masalah fundamental tadi. Apalagi jika kita mempersempit diri dengan berpikir simplistis, pilih A atau B, hampir di segala kesempatan.
Ketika kita terbiasa berpikir biner bahkan saat bicara sistem: mengkritik sistem demokrasi disebut anti-demokrasi, seolah demokrasi itu benda mati yang sudah selesai. Riuh rendah kampanye sendiri sudah menyita terlalu banyak perhatian sehingga kita kehilangan energi dan perhatian untuk mendiskusikan tantangan yang lebih fundamental tadi.
Kebiasaan berpikir biner inilah yang kian mempersempit pilihan kita dalam berbagai hal, termasuk dalam kebijakan publik, yang mencegah kita mengeksplorasi alternatif-alternatif solusi baru yang mendesak untuk kita temukan. Argumen ini tentu bukan bermaksud untuk mendorong pembaca agar antipati terhadap politik. Bukan.
Demokrasi membutuhkan partisipasi. Tapi, partisipasi politik yang hakiki ada dalam kehidupan sehari-hari, bukan datang ke bilik suara lima tahun sekali. Apalagi hanya sekadar deklarasi dukung-mendukung politisi idola tanpa melakukan otokritik pada mereka.
Politik adalah instrumen merumuskan dan mewujudkan kebijakan publik yang sehat sesuai kemaslahatan bersama. Kita memerlukan politik yang sehat untuk membenahi berbagai soal fundamental. Pada porsi inilah tugas intelektual lulusan kampus adalah memperluas pilihan dan mengoreksi sistem dengan menelisik akar masalah, lalu merumuskan solusi. Bukan larut dengan hegemoni tanpa isi. Duh.
You might also like
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …