Tentang Perempuan Jawa
Munculnya unsur cerita wayang dan bentuk-bentuk transformasinya pada karya fiksi Indonesia secara intensif baru terlihat pada pertengahan tahun 70-an. Yaitu dengan terbitnya cerpen panjang Sri Sumarah karya Umar Kayam, dan beberapa tahun sebelumnya Danarto menulis cerpen Nostalgia yang bersumber pada cerita Abimanyu gugur.
Setelah itu karya-karya berikutnya menyusul seperti Pengakuan Pariyem (Linus Suryadi), Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi (Mangunwijaya), Canting (Arswendo Atmowiloto), Para Priyayi (Umar Kayam), Perang (Putu Wijaya), atau bahkan karya yang berangkat dari cerita wayang itu sendiri seperti Balada Cinta Abimanyu dan Lady Sundari dan Balada Narosama (Agus T. Wibisono), Asmaraloka (Danarto).
Hal ini menunjukkan betapa lekatnya budaya pewayangan pada masyarakat sehingga begitu berpengaruh dan menjadi sumber rujukan dan penulisan sastra Indonesia. Ada banyak cerita dalam pewayangan yang dijadikan rujukan misalnya, cerita Ramayana. Tokoh dalam Ramayana antara lain Dewi Shinta, Raden Gunawan Wibisana, Raden Subali, Raden Sugriwa dan Patih Prahasta.
Karya yang berangkat dari cerita wayang yang mempertahankan cerita asli, baik yang menyangkut cerita, plot, tokoh, pokok permasalahan, konflik, dan sarat akan nilai keperempuanan terdapat pada novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata. Di dalamnya dikisahkan tentang sosok Sinta sebagai perempuan yang sarat akan nilai keperempuanan. Perempuan dalam konsep budaya jawa sering disebut sebagai konco wingking dan garwa (sigaraning nyawa/belahan jiwa). Konsep Jawa ini seolah-olah membuat keberadaan perempuan jawa selalu dinomerduakan. Padahal keberadaan perempuan pada kenyataannya tidak demikian. Hal ini direfleksikan seperti tokoh-tokoh perempuan dalam jagad pewayangan.
Sinta merupakan bukti bahwa perempuan mempunyai citranya sendiri yang lemah lembut, bisa berperang tanding dalam hal mempertahankan keyakinannya dan digambarkan sebagai sosok perempuan yang sempurna, baik secara lahir maupun batin. Hal ini yang menyebabkan Sinta mampu diterima di sepanjang zaman melalui karya sastra salah satunya dalam novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata.
Bukti bahwa nilai keperempuanan yang dihadirkan melalui Sinta merupakan acuan bagi masyarakat mampu terlihat dari keistimewaan novel ini yang telah mengalami delapan kali cetakan. Novel sebagai salah satu jenis sastra merupakan alat untuk menyampaikan visi, reaksi dan opini pengarang terhadap sesuatu yang dilihat, dirasa, diamati dan dipikirkannya. Sebagai sebuah karya sastra, novel Anak Bajang Menggiring Angin menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dengan demikian, segala aspek kehidupan manusia dengan budayanya terdapat dalam sastra. Di dalam karya sastra, sastrawan memperlihatkan sikapnya dan memberikan kebijakannya tentang berbagai aspek kehidupan manusia, tidak terkecuali tentang sikap dirinya sendiri.
Anak Bajang Menggiring Angin adalah sebuah novel fantasi pewayangan berbahasa indonesia karya Sindhunata yang diterbitkan tahun 1983 oleh Gramedia Jakarta. Novel ini merupakan novelisasi dari serial “Ramayana” yang dimuat di harian KOMPAS setiap hari Minggu pada tahun 1981. Dengan beberapa perbaikan dan tambahan oleh Sindhunata, serial tersebut diterbitkan dalam bentuk buku ini. Buku ini telah dicetak ulang beberapa kali oleh Gramedia. Menurut catatan di akhir versi cetakan kedelapan (tahun 2007), beberapa pengamat mengatakan bahwa kekuatan buku ini terletak dalam bahasanya yang bergaya sastra, terutama dalam “corak liriknya yang puitis dan ritmis“. Judulnya sendiri, “Anak Bajang Menggiring Angin” (dalam bahasa Jawa, “Bajang” berarti “kecil”, “kerdil”, atau “cacat”; “Anak Bajang” berarti “anak yang sengaja dibuang orang tuanya”) adalah sebuah metafor yang dapat diinterpretasi ke banyak arti oleh pembacanya.
Novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata berhubungan dengan sosiologi sastra sebagai sebuah tinjauan yang tidak pernah lepas dari masyarakat dan tidak terkecuali dengan semangat zaman. Hal ini bisa dilihat dari nilai yang terkandung dalam novel tersebut adalah nilai keperempuanan yang dipresentasikan oleh tokoh Sinta. Ia digambarkan sebagai putri raja yang cantik, pendiam, setia, ramah, lemah lembut kenal unggah-ungguh. Dibalik penggambarannya yang demikian, figur sosok ideal, Sinta mempunyai sebuah pesan dan membawa kegelisahannya kepada sesama perempuan, terutama di tempat ia di-tumbuh-kan oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.
Masyarakat Indonesia dikenal dengan sistemnya yang patriarkis meskipun sebenarnya terdapat variasi corak patriarki antarbudaya. Salah satu masyarakat yang dikenal dengan kebudayaannya yang patriarkis adalah Jawa. Menurut Indrawati, masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Hal ini didukung oleh Handayani dan Novianto yang menyatakan bahwa dalam budaya Jawa yang cenderung paternalistik, laki- laki memiliki kedudukan yang istimewa.
Indrawati menambahkan bahwa perempuan Jawa diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang selalu tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam sistem kekuasaan kerajaan Jawa (keraton). Hal ini senada dengan pendapat Widyastuti yang mengutip Kusujiarti, bahwa perempuan Jawa lebih banyak menjadi sasaran ideologi gender yang hegemonik yang menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.
Mulai dari awal pemilihan pasangan hidup, laki-laki Jawa biasanya disarankan untuk tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam perkawinan, ada istilah kanca wingking, yakni bahwa perempuan adalah teman di dapur akan mewarnai kehidupan perkawinan pasutri Jawa. Konsep swarga nunut, neraka katut (ke surga ikut, ke neraka pun turut) juga menggambarkan posisi perempuan Jawa yang lemah sebagai seorang istri. Selain itu bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati adalah perempuan yang tetap tampak lembut dan berperan dengan baik di rumah sebagai ibu maupun istri, di dapur maupun di tempat tidur. Masyarakat Jawa berharap perempuannya bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan setia. Ia diharapkan dapat menerima segala sesuatu bahkan yang terpahit sekalipun.
Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi suami. Kalaupun kemungkinan untuk tampil tersedia, perempuan Jawa diharapkan tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat mengganggu harmoni kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami. Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan suami.
Namun demikian, ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa sistem bilateral, dan bukan paternalistik, yang justru tampak dalam praktik hidup sehari-hari pada masyarakat Jawa. Sebagian orang menganggap perempuan Jawa memiliki kekuasaan yang tinggi mengingat sumbangannya yang umumnya cukup besar dalam ekonomi keluarga yang dicapai melalui partisipasi aktif mereka dalam kegiatan produktif. Handayani & Novianto juga menyebutkan fungsi istri sebagai manajer rumah tangga justru membuat posisi kontrol perempuan Jawa menjadi lebih kuat.
Selain itu adanya konsep istri sebagai sigaraning nyawa, bukan sekadar konco wingking juga memberikan gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter terhadap perempuan Jawa. Istilah konco wingking pun tidak selalu lebih rendah, tergantung bagaimana perempuan Jawa memaknainya. Sama seperti sutradara yang bekerja di belakang layar dan tidak pernah terlihat dalam filmnya tetapi dapat menentukan jalannya film.
Selain itu Handayani dan Novianto juga berpendapat bahwa perempuan Jawa bukannya tidak memiliki otoritas pribadi. Hanya saja ia harus mencari cara agar kehendaknya terpenuhi tanpa mengacaukan harmoni dengan keluar dari tatanan budaya. Oleh karena itu pengabdian total perempuan Jawa merupakan strategi diplomasi untuk mempunyai otoritas dan mendapatkan apa yang menjadi harapannya. Jadi secara struktur formal, mereka terlihat tidak berpengaruh. Namun secara informal, pengaruh mereka sangat besar. Bahkan lama kelamaan suami yang akan tergantung kepada istrinya terutama secara emosional. Pada posisi inilah, perempuan Jawa akan banyak menentukan keputusan-keputusan dunia publik melalui suaminya.
Nilai keperempuanan terbentuk dapat berasal dari lingkungan sosiologisnya. Menurut Handayani dan Novianto dalam bukunya Kuasa Wanita Jawa, masyarakat Jawa memiliki prinsip-prinsip dasar tentang sikap batin yang tepat, yaitu terkontrol, tenang, berkepala dingin, sabar, tenggang rasa, bersikap sederhana, jujur sumarah, dan tidak mengejar kepentingan sendiri. Sementara dalam tata krama Sinta (kembali lagi pada cerita Sindhunata) memiliki prinsip tidak memberi informasi tentang kenyataan yang terjadi pada rumah tangganya dengan Rama. Hal ini dilakukan semata-mata untuk melindungi nama baik keluarga dan suaminya.
Nilai keperempuanan yang ditawarkan oleh Sinta mempunyai relevansi dengan karakteristik wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam/kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi/ terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, setia atau loyalitas tinggi.
Walaupun demikian, penggambaran karakteristik perempuan Jawa di atas merupakan sebuah bentuk realitas di mana sesungguhnya perempuan Jawa bukanlah seperti yang sering disebut orang selama ini. Perempuan Jawa adalah orang yang lemah lembut, jalannya seperti ‘macan luwe‘ (harimau lapar), segala gerak-gerik yang selalu digambarkan dengan berbagai kiasan menunjukkan bahwa perempuan Jawa sungguh sangat feminin. Di sisi lain selalu orang beranggapan bahwa perempuan (Jawa) adalah pribadi yang lemah dan tergantung pada laki-laki. Padahal sesungguhnya perempuan Jawa tidaklah demikian.
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …