Jika Luis Sepúlveda pada bab satu novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta mengandaikan langit ibarat perut buncit seekor keledai yang menggantung tepat di atas kepala, maka bagiku hari itu langit bagai bentangan elang yang mengepakan sayap-sayap ikarus yang mendapati mangsa seekor bekantan cacar. Tampak lezat dari kejauhan, namun ketika berdekatan elang itu hendak muntah tanpa merasakan gurih dagingnya. Barangkali kondisi Antonio José Bolívar, karakter utama dalam novel itu, jauh lebih baik dariku kala harus meninggalkan Dolores Encarnación del Santísimo Sacramento Estupiñán Otávalo yang membuat Antonio tak punya pilihan selain menjadi pawang hutan Amazon dan mencintainya lebih dari apapun.
Satu hari sebelumnya, ketika senja mulai mengitari kota Jakarta, aku mendapat surel wawancara kerja dari sebuah media massa daring yang digadang-gadang memiliki 50 juta pengunjung setiap bulannya. Jika dikonversi satu hari dengan asumsi satu bulan 30 hari maka rata-rata pengunjung media tersebut adalah 1,7 juta. Bukan angka yang buruk apabila menawarkan penempatan pemasangan iklan produk ke berbagai korporasi besar untuk ditampilkan di media tersebut. Dana operasional saja sudah tertutup dari situ, bukan? Dan jika berbicara revenue, annual recurring revenue, monthly recurring revenue, life time value, gross profit dan sejenisnya media ini memiliki in-house agency dan jaringan kreatif lainnya untuk menghasilkan pundi-pundi. Maka dengan demikian tak berlebihan rasanya aku memiliki ekspektasi pada media tersebut dari sisi keberlanjutan.
Dalam surel disebutkan jika aku harus hadir sebelum pukul 13.30 WIB. Aku pun menyanggupinya kendati aku sedang ngantor di tempat lain. Namun, wawancara baru dimulai pukul 14.15 WIB. Entah karena apa sampai membuat kami bertiga harus menunggu. Tak ada eksplanasi apapun. Sedangkan alasan kenapa aku ingin berpindah ke tempat baru untuk bekerja dengan tugas yang tak jauh berbeda adalah karena aku sudah tak memiliki alasan lagi untuk tetap bertahan di kantor yang bahkan hingga kini aku masih terlibat penuh dalam rutinitas organisasi bisnisnya.
Tepat pukul 13.00 WIB aku sudah hadir di kantor media tersebut. Terdapat 3 orang yang hadir dari 7 orang yang diundang untuk melakukan sesi wawancara mengisi posisi yang kuyakini mampu mengembannya.
Terus terang saja, aku deg-degan sebelum memasuki ruangan interview, bahkan sehari sebelumnya pun begitu. Banyak berseliweran dalam pikiran hal-hal yang bikin was-was, ini bukan cemas karena berbuat salah melainkan lebih ke rasa segan saja. Karena calon bos (User) yang menanyaiku, dalam gambaranku, memiliki integritas yang kesohor di bidangnya, yakni jurnalistik yang bisa dibilang sudah senior itu. Kini pun beliau merangkap sebagai pemimpin redaksi di salah satu media asal Filipina yang beroperasi di Indonesia.
Calon bos itu ditemani oleh dua orang petugas perekrutan. Seperti seorang nenek yang ditemani oleh kedua cucunya. Ketiganya menanyakan sejumlah pertanyaan yang relevan dengan posisi yang aku isi. Tidak banyak memang. Karena di surel sebelumnya aku telah dikirimi 13 pertanyaan melalui Google Form Sheet. Semua pertanyaan pun kujawab dengan sebaik-baiknya, tentu sependek yang aku tahu saja. Aku tidak tahu apakah mereka merasa puas atas jawaban-jawaban yang kusodorkan, setidaknya aku sudah menjawab sepenuh yang kuketahui.
Sebelumnya dan sebagaimana biasa, aku mengkhususkan diri untuk melakukan persiapan sematang mungkin sebelum hadir pada setiap sesi wawancara kerja, tak terkecuali di media tersebut. Softcopy sudah dikirim sebelumnya dan hardcopy siap sedia di hari H, termasuk sertifikat pendukung untuk sekadar jaga-jaga saja jika memang diperlukan, portofolio tentulah dibawa, riset soal perusahaan tersebut? Oh, pastinya dong.
Memang sih media yang kudatangi bukanlah media yang besar-besar amat, namun tidak bisa juga dikatakan kecil. Apalagi perusahaan rintisan pers tersebut pernah mendapat Best Performance Award, Best Retention Strategy, Best Working Place, HR Exellence, masuk pada 30 besar perusahaan rintisan berpengaruh di Asia versi Forbes dan segambreng penghargaan lainnya.
Namun, kesan itu tergambar sebelum benar-benar bertemu muka dengan sang calon bos yang dimaksud dalam kerangka profesionalitas. Sepengetahuanku yang dangkal, seorang jurnalis itu memiliki empati tinggi. Ia menghargai manusia. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, paling tidak. Ternyata benak tak berbanding dengan harap, kenyataan malah membelalak. Bagai pesawat drone bertabrakan dengan tebing hutan Amazon, yang menurut Antonio José Bolívar, macan kumbang hutan Amazon kala merasa sakit hati dan lapar ia bakal lebih brutal dari Dexter Morgan.
Ketika aku ditanya soal ini dan itu calon bos tersebut tengah asyik masyuk dengan gawai dalam genggamannya, sesekali aku melihat ia tertawa. Jika tak tertawa pun ia hanya fokus dengan gawainya. Saking asyiknya ia pun ditegur oleh petugas perekrutan sebelahnya, “Mbak, mau nanya apalagi?” Kata gadis berkerudung kearab-araban itu, tak lama calon bos pun bertanya soal seandainya aku diterima apa yang akan aku buat, kemudian aku pun menjawab dengan tenang saja. Setelahnya, ia kembali lagi ketawa-ketiwi dan menatap gawai pintarnya. Masuk kuping kiri, keluar kuping kiri dan kanan. Dua petugas perekrutan di sebelahnya hanya mampu bergeming belaka, aku pun demikian, saling melihat satu sama lain dan akhirnya perempuan berkerudung berhidung mancung itu menutup sesi wawancara tersebut. Kuperkirakan, sesi wawancara tersebut tak lebih dari 7 menit saja.
Akupun langsung pamit dari ruangan, dan membuka kemungkinan-kemungkinan kesan terhadap sang calon bos, barangkali sang calon bos terlalu sibuk dengan galian uranium di ujung lautan, sementara lubang berlian di depan mata tak kelihatan. Barangkali sang calon bos memang super sibuk, sehingga setiap menitnya itu sama dengan USD 50. Barangkali sang calon bos terbiasa memperlakukan pencari kerja demikian, itu gayanya, karakternya, wataknya, absolut, sudah final, tak bisa diapa-apakan lagi. Dengan demikian hal-hal yang memang remeh itu tidak menggugurkan penghargaan simbolik yang perusahaan rintisan pers tersebut dapatkan.
Oh, mungkin aku khilaf belaka. Ya memang demikian adanya sih karena kan belum pernah juga mendapatkan penghargaan The Best Treatment to Jobseekers. Ah, wajar betul itu! Atau memang jangan-jangan aku yang terlalu berekspektasi ingin dihargai, diistimewakan, dispesialkan, padahal Mark Manson sudah mengingatkan dalam buku tidak pentingnya itu yang dia kasih judul Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, bahwa tidak ada yang istimewa, karena ketika kita merasa ingin diistimewakan atau dihargai, bersiaplah untuk menelan kekecewaan. Mungkin ada baiknya merenungkan apa yang pernah disiarkan Coki Pardede, komedian dengan ciri khas dark jokes-nya: berekspektasilah pada tempatnya.
You might also like
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …