Pernahkah terpikir apa yang akan terjadi kalau kita bisa kembali ke masa lalu untuk memperbaiki kesalahan yang kita sesali? Atau, melompat ke masa depan untuk membereskan kegagalan kita? Paling tidak kita suka membanding-bandingkan kondisi masa kini dan kondisi masa lalu dan, dengan mata romantis menerawang penuh nostalgia dan kerinduan, kita mengharapkan masa lalu yang terasa indah itu tak tergusur perkembangan zaman. Andai bisa, kita pengin melakoninya lagi. “Penak jamanku tho?” kata sebuah poster kondang.
Lompatan waktu tak ayal konsep yang menggelitik, terasa mustahil, tetapi sekaligus menggoda kita untuk berandai-andai. Ya, bagaimana seandainya kita bisa menembus lorong waktu?
Tunnel (Shin Yong-Hwi, Korea Selatan, 2017), serial televisi bergenre thriller kriminal, menambah panjang daftar film yang mendayagunakan konsep lorong waktu ini. Dan, tokohnya betul-betul melewati lorong—terowongan—untuk berpindah ke zaman lain.
Selama ini saya sempat mencicipi beberapa film Korea Selatan. Namun, baru kali ini saya tergoda untuk menjajal serial televisinya. Dan, Tunnel nyatanya sebuah perkenalan yang kayaknya bakal bikin kecanduan. Kisah detektif sepanjang 16 episode masing-masing berdurasi satu jam ini betul-betul mengaduk-aduk emosi. Setiap episode berakhir dengan cliffhanger yang menggemaskan, bikin tak sabar untuk segera menonton episode selanjutnya.
Park Gwang-ho, sersan detektif di kepolisian Hwayang, menyelidiki kasus pembunuhan berantai pada 1986. Saat ia nyaris menangkap si pelaku di sebuah terowongan, di tengah perkelahian tiba-tiba ia terlontar ke tahun 2016, dan kemudian diperhadapkan pada kasus-kasus yang, tentu saja, berkaitan dengan kasus yang belum beres tiga puluh tahun sebelumnya.
Selain keruwetan permainan waktu, film ini menawarkan ketegangan khas kisah detektif, yang mengajak kita menebak-nebak siapa si pelaku pembunuhan dan bagaimana mengatur siasat untuk menangkapnya, dan juga bagaimana menginterogasi tersangka agar mengakui kejahatannya. Di luar itu, kita disuguhi kejenakaan interaksi para polisi–mereka tidak langsung tahu bahwa Gwang-ho berasal dari masa lalu sehingga muncul berbagai kesalahpahaman dan kecurigaan. Bumbu kisah cinta tak ketinggalan, terutama kecintaan pada keluarga, yang tak lain mrupakan lingkungan utama pembentuk identitas seseorang.
Konsep lipatan waktu sendiri kalau dinalar tentu bakal menyisakan keruwetan. Dalam kronologi wajar, suatu sebab ada terlebih dahulu, dan baru kemudian muncul akibatnya. Ketika waktu berlipat, seorang tokoh dapat saja menanggung akibat suatu perbuatan pada masa depan dan, beberapa tahun kemudian, baru mencetuskan penyebabnya pada masa lalu. Mumet kan?
Daripada mempersoalkannya, lebih asyik menikmatinya saja sebagai sarana pengisahan yang mengundang kita untuk mencermati jelujuran cerita dan, syukur-syukur, merefleksikan pesan yang ditawarkannya. Apa sih yang hendak didialogkan oleh Tunnel ini?
Menarik, serial ini menggunakan konsep lipatan waktu bukan sekadar untuk memikat penonton dengan plot yang pelik, melainkan untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan menggugah tentang identitas dan tujuan hidup manusia. Pada satu titik, Gwang-ho tercenung, apa alasannya ia terlontar ke masa depan? Apa tujuannya? Tentu ada maksud di balik keajaiban yang terjadi tersebut.
Meskipun istilah itu tidak pernah digunakan, pengalaman Gwang-ho dapatlah disebut mukjizat. Tokoh-tokoh dalam film ini tidak pernah digambarkan sedang menjalankan ibadah keagamaan. Hanya dua tokoh yang bersentuhan dengan institusi agama, yaitu salah seorang korban dan si pembunuh berantai. Toh aura spiritualitas menyusup juga. Dalam salah satu upaya untuk kembali ke masa lalu, Gwang-ho yang sudah habis akal berseru meminta pertolongan. Kepada siapa? Meskipun ia tak menyebut nama, cukup aman jika disimpulkan bahwa ia berseru kepada, meminjam istilah jaman now, Pasukan Langit.
Lintasan waktu—entah yang berjalan lurus entah yang berlipat-lipat—pada akhirnya akan memperhadapkan kita pada pertanyaan-pertanyaan hakiki tentang jati diri. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat menerpa siapa saja, pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan, yang tidak dapat dijawab dengan gampang.
Dalam episode 13, Shin Jae-yi, dosen dan konselor psikologi kriminal bagi tim kepolisian, menggunakan lukisan Gauguin Where Do We Come From? What Are We? Where Are We Going? untuk menjelaskan bagaimana asal-usul dan masa lalu seseorang membentuk identitasnya. Secara khusus, ia menerapkannya pada profil pembunuh. Seperti apakah lingkungan yang membentuknya? Alasan apakah yang memicunya menghabisi nyawa korban? Ya, membunuh pun ada alasannya.
Nyatanya, pertanyaan itu bukan hanya berguna untuk menyingkapkan sosok penjahat, tetapi juga menuntun tokoh-tokoh lain menemukan jati dirinya. Dan, melalui kegigihan untuk bertanya, untuk mencari petunjuk, kasus kriminal yang sempat terkubur selama tiga puluh tahun pun akhirnya terungkap.
Di ujung cerita, ada sentuhan kecil yang menarik. Diperlihatkan bahwa para atasan ketika bersalah bersedia meminta maaf pada bawahan. Juga, ketika memberikan pertanggungjawaban pada masyarakat, aparat dengan rendah hati meminta maaf atas buruknya layanan mereka. Ah, kapan kebiasaan semacam itu berkembang di negeri ini? Mungkin saya akan menyaksikannya jika dapat melompat ke tahun 2049.
More from Tontonan
Sinopsis Sokola Rimba
Sinopsis Sokola Rimba Film "Sokola Rimba" merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Butet Manurung yang didedikasikan untuk memberikan pendidikan …
Orient Express: Dari Novel hingga Layar Lebar
Orient Express: Dari Novel hingga Layar Lebar Orient Express adalah nama yang memicu imajinasi, menggambarkan kemewahan, misteri, dan perjalanan epik melintasi …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …