Simbiosis Bahasa dan Mental Manusia
Menjelang magrib di sebuah lingkungan tetangga, seorang anak umur 4 tahunan sedang merengek -rengek sambil menuntun sepedanya. Nampak mimik wajah kesal di wajahnya. Beberapa jenak sebelumnya, sang anak baru saja menerima ajakan dari orang tuanya,
” Awas ada hantu, ayo pulang, nak!”
“… nanti diculik hantu lho!”
Berulang kali kalimat dengan nada serupa diterima sang anak tatkala ia keasikan bermain. Ajaibnya, sang anak menuruti ibunya dan pulang. Tapi gawatnya, selepas momen itu, sang anak kerap kali bersikap sebaliknya. Menjadi rewel, mengeyel, dan menolak apa yang dikehendaki orang tuanya.
Fenomena tersebut belakangan saya temui, dan rupanya banyak dari kawan saya yang juga lazim menyaksikan fenomena ini dengan adegan yang variatif. Lantas timbul pertanyaan di benak saya, apakah ancaman-ancaman orang tua dengan redaksi “ … ada hantu” berhubungan dengan anaknya yang cenderung jadi ngeyel ?
Pertanyaan itu membawa saya pada psikolinguistik, yaitu ilmu interdisipliner yang mengakar pada psikologi (ilmu kejiwaan/ mental) dan linguistik (ilmu kebahasaan). Teori psikologi kognitif dari Jean Pieget dan Hipotesis Sapir-Whorf kerap dijadikan landasan oleh para akademisi psikologi maupun linguistik untuk mengembangkan kajian di masing-masing bidang keilmuan.
Pada perkembangannya, psikologi dan linguistik akhirnya dianggap mampu bekerja sama untuk memahami manusia. Dalam asumsi, semacam lebah dan bunga, bahasa dan pikiran manusia merupakan dua hal yang saling memengaruhi. Sehingga, hubungan antara pikiran dan bahasa menghasilkan cara manusia dalam memandang dunia ( realita).
Kembali kepada ucapan “awas ada hantu” tadi. Menurut saya ada yang tidak tepat pada kalimat yang digunakan orang tua. Sebab, secara kognitif di usia berkembang anak (golden age) atau yang disebut Pieget dengan tahap Praoperasi (setidaknya ketika anak berumur di bawah 7 tahun), anak masih dalam tahap “menerima”, dalam arti apa saja yang masuk akan langsung diserap tanpa penolakan (kritik). Hal ini yang disebut Pieget dengan Perceptually bound, tatkala daya tangkap (pikiran) seorang anak sedang pada level yang terbatas, yakni apa yang dilihat atau didengar saja.
Apabila saya boleh berandai-andai, mungkin saja ketika menuturkan “awas ada hantu ayo pulang”, sang ibu telah menuntun anak untuk takluk hanya kepada hantu dan mempersilakan anak untuk berani melawan orang tuanya atau (ngeyel). Andaian ini berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf (Linguistik Determinisme), bahwa bahasa memiliki daya untuk memengaruhi manusia, bukan hanya pada pikiran tapi sampai pada perilakunya.
Salah satu ekperimen yang memicu lahirnya hipotesis ini ialah ketika Whorf (pengikut Sapir) menganalisis laporan tentang kebakaran. Pembahasan ini dapat ditemui di jurnal LINGUA, VOL 13, NO 2, 2016 (Pusat Kajian Budaya Surakarta). Pada eksperimen itu, Whorf mengamati perilaku orang-orang kepada drum bensin di sebuah gudang. Sebagian drum masih terisi penuh dengan bensin dan sebagian lainnya telah habis. Drum yang penuh bensin diberi tulisan “drum isi bensin”, dan lainnya “drum kosong”.
Whorf menemukan, bahwa orang-orang cenderung berhati-hati ketika berdekatan dengan drum bertuliskan “drum isi bensin”, dan cenderung lupa untuk waspada ketika berdekatan dengan drum bertuliskan “drum kosong” bekas bensin, yang sebenarnya uap pada drum bensin kosong ini berpotensi sebagai penyebab kebakaran.
Kesimpulan ekperimen tersebut berujung pada kemungkinan bahwa bahasa memiliki daya untuk menentukan perilaku. Apabila posisi tulisan diubah, kemungkinan perilaku orang-orang di gudang tersebut akan berbalik . Atau, apabila drum dibiarkan tanpa tulisan maka perilaku orang di sekitarnya pun akan berbeda lagi.
Kembali ke ilustrasi kejadian awal, ketika sang anak malah menjadi rewel saat atau pun setelah pulang dengan iming-iming ada hantu, saya menduga itu bentuk sederhana dari reaksi yang ia terima dari kalimat yang menyematkan kata hantu sebagai “subjek” penyebab sesuatu, yang terlampau sering ia dengar. Seperti kalimat “ awas ada hantu ayo pulang, “ayo mandi ada hantu lho”, dan redaksi sejenisnya. Tentu didukung oleh pengantar tentang reputasi hantu yang sering kali orang tua berikan kepada anak di rumah.
Selain itu, secara linguistik, anak pada usia ini belum mengerti konteks, simbol, konotasi, rayuan, atau maksud lain dari sebuah ungkapan. Input berupa kalimat yang ia dengar, bunyi dan maknanya secara harfiah (apa adanya) akan masuk ke dalam pikiran. Maka, dalam fenomena ini sang anak benar-benar merasakan ada hantu, atau ancaman yang seolah-olah dari hantu.
Kalimat-kalimat tadi bisa saja memberi konotasi waspada, tapi bagi nalar yang telah siap. Untuk anak- anak usia berkembang tadi, yang bahkan belum memasuki usia sekolah, kalimat itu bisa jadi buruk. Karena sang anak akan menerima makna statis “awas ada hantu”, sebagai dorongan agar ia lekas pulang, karena ada sesuatu yang berbahaya untuk dirinya.
Artinya, persepsi sang anak sudah terisi dengan sosok yang patut ditakuti demi keselamatannya. Anak telah menangkap bahwa ada sesuatu di luar sana yang memiliki power lebih kuat darinya dan bahkan orang tuanya. Sayangnya, subjek atau pelaku dari penyebab rasa takut itu adalah “hantu”. Lalu boleh jadi output-nya secara tak sadar memengaruhi mental dan sikapnya kelak. Ini mungkin yang menyebabkan muncul sikap mengeyel anak kepada orang tuanya. Sebab, dalam pandangan sang anak, orang tuanya bukanlah “subjek” sebagai penyebab rasa takut yang dalam pemahamannya adalah hantu. Maka, ketika orang tua menghendaki sang anak melakukan sesuatu pada situasi yang lain (tanpa iming-iming hantu) reaksi “ngeyel” pun muncul.
Oleh karena itu, ada baiknya “ subjek” dalam kalimat rayuan untuk pulang, makan, dan aktivitas lainnya harus diubah. Khawatirnya, secara tidak sadar rasa takut anak itu semakin menjadi eksklusif, khusus untuk hantu. Atau, metode komunikasi orang tua untuk merayu anak mungkin bisa diganti sama sekali, tanpa harus merayu dengan menakut-nakuti, terlebih dengan hantu.
Terlepas dari pertanyaan awal terkait fenomena ini, tanda tanya lain pun bisa saja muncul kembali. Sepert misalnya, mengapa dari “ribuan” kosakata terpilih kata ”hantu“ untuk menempati “subjek“ pada redaksi rayuan orang tua? Apakah bagi orang tua memang “hantu” yang pantas menempati posisi subjek pada kalimat itu? Apakah orang tua menuturkannya dengan sadar? Atau hanya spontanitas?
You might also like
More from Cerapan
Dari Model T ke AI: Pola Disrupsi yang Selalu Berulang
Dari Kereta Kuda ke Jalan Raya: Sebuah Kisah tentang Disrupsi... Selama ribuan tahun, manusia bergerak dengan kecepatan kuda. Kereta kuda menjadi …
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …