Kau sadar betul betapa banyak waktu yang telah kau lewati, apalagi saat kau menemui malam itu: malam yang membuat seluruh dirimu merasa bahwa selama kau hidup, dari jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik itu, untuk apa kau diberikan yang sedemikian itu.
Ia kini tengah duduk tepat dihadapanmu, wajahnya mirip sekali dengan perempuan itu, sosok perempuan yang mengenalkanmu pada suatu hasrat di mana kau tak pernah tahu untuk apa kau diberikan semua itu: cinta. Seketika kau kembali mengingat masa lalumu, saat kau bertemu dengan perempuan itu.
Saat itu, kedua orangtuamu dengan senang hati mengasuh perempuan itu lantaran kedua orangtuanya –yang juga teman ibumu– tertimpa bencana saat pergi ke pasar. Keluarganya tertabrak truk pengangkut sampah dan tewas seketika. Kau jelas-jelas lahir dari keluarga maha baik, yang bersedia menampung seseorang yang bukan keluargamu.
Awalnya kau merasa canggung bukan main, maklum saja, kau dan perempuan itu bukan lahir dari rahim yang sama, apalagi kau laki-laki yang memang dilahirkan sebagai anak laki-laki yang begitu pemalu. Kau ingat betul, bagaimana bertahun-tahun di atap rumahmu yang terletak di bilangan Jakarta Timur itu tak kunjung membuatmu karib dengan perempuan itu. Namun, kau juga sadar, di tempurung kepalamu kini perempuan itu telah menjelma sebagai adikmu sendiri, yang juga harus kau lindungi dan kasihi.
Kau tahu betul, kesibukan orangtuamu membuat mereka tak mampu memberimu seorang adik kecil yang manis, dan perempuan itu, tentu saja hadiah dari Tuhan untukmu, agar kau bisa merasakan bagaimana menjadi seorang kakak laki-laki.
Kau ingat, kau begitu acuh tak acuh terhadap perempuan itu, namun hatimu tak bisa berbohong, dalam diammu yang paling sunyi itu, kau betul-betul memperhatikan perempuan itu. Kau berusaha sekeras mungkin agar perempuan itu tak pernah tahu kebenarannya, meskipun pada akhirnya kau tahu, bahwasanya perempuan itu sadar juga, dalam sikapmu yang begitu, kau tetap mengganggapnya ada.
Lambat laun kalian mulai dewasa. Waktu itu kau baru saja lulus dari studi pascasarjanamu dan perempuan itu baru saja menyelesaikan studi sarjananya. Kau ingat, sebenarnya perempuan itu tak ingin melanjutkan pendidikannya sampai sarjana, karena merasa tidak enak dan lebih ingin membantu perekonomian keluargamu, namun orangtuamu memaksa, dan kaupun turut berbicara kepada perempuan itu meski hanya sekelebat saja.
Seminggu setelah kelulusanmu itu, Ibumu meninggal. Kau sadar, permintaan beliau yang terakhir ialah melihatmu menikah dan kau masih saja sendiri sampai dengan ulangtahunmu yang ke-24. Kau tahu betul kenapa kau tidak bisa jatuh cinta pada perempuan-perempuan lain. Ya, karena kau lebih mencintai perempuan itu, perempuan yang sudah kau anggap sebagai adikmu sendiri itu. Kau terus-menerus berpikir keras untuk itu, kau sadar, mungkin perempuan itu telah mengganggapmu sebagai seorang kakak. Dan tak mungkin kau memintanya untuk sedia dipersunting olehmu.
Ayahmu pun serupa, ia juga sadar bahwa selama ini kau memang mencintai perempuan itu. Namun kepalamu berkata berbeda dengan hatimu. Kau tegas menolak saat Ayahmu berusaha menjodohkan kalian dan berkata biarkan dirimu memilih sendiri tanpa campur tangannya.
Sebelum genap usiamu di angka seperempat abad, Ayahmu meninggal dalam perjalanan dinasnya. Dan saat itulah kau benar-benar merasa sendiri. Perempuan itu juga sudah tak tinggal satu atap denganmu. Ia memilih untuk indekos.
Namun perpindahan itu tak serta merta membuat perempuan itu lupa akan kasih dari orangtuamu, ia tetap memperhatikanmu, malahan tiap pagi perempuan itu selalu mampir ke rumahmu sebelum bekerja untuk memberikanmu sarapan. Ia tahu betul sarapan yang kau suka –nasi uduk dengan orek tempe dan telur dadar tanpa sambal. Meskipun beberapa kali kau menyuruhnya untuk tidak repot-repot dan terlalu sering melakukan hal tersebut, kau tetap menerimanya dan memakannya habis.
Semakin kau jauh dari perempuan itu, semakin pula perempuan itu membuatmu merasakan jatuh cinta. Namun kau tahu, sifat pemalumu itu tak pernah hilang meski kau telah berusia seperempat abad. Kau merasa bahwa itu adalah kutukan dari Tuhan. Namun kau juga tahu, kau tidak bisa menyalahkan Tuhan karena hal itu.
Setahun berselang, perempuan itu datang ke rumahmu dan memintamu untuk menjadi wali dalam pernikahannya. Saat mendengar itu kau merasakan betapa nyerinya hatimu, kau seolah merasakan beberapa anak panah menembus jantungmu, namun tak ada darah setetespun yang keluar. Bisa dikatakan kau betul-betul merasakan bagaimana hati itu koyak dalam artian harfiah.
Kau sebetulnya bisa saja berdalih bahwa akhir-akhir ini kau sedang sibuk dengan pekerjaanmu dan pada saat pernikahannya itu kau sedang berada entah di kota mana, namun lagi-lagi hatimu tak sekuat kepalamu. Dengan masygul kau mengiyakannya.
Memang, hal yang paling kau benci belakangan ini adalah ketika pikiranmu berusaha untuk mendamai-damaikan hatimu yang kalut itu. Kau sadar betul, pada akhirnya, meskipun demi kebaikan, kau tidak perlu juga membohongi dirimu.
Dua tahun berselang, kau tahu perempuan itu telah dikaruniai seorang anak. Kau tetap mengikuti perkembangannya, meski kau tak pernah berani untuk datang ke rumahnya. Kau tahu betul, perempuan itu tak pernah luput untuk memberi kabar kepadamu, dari berita kehamilannya, proses bersalinnya, hingga memintamu untuk memberi masukan untuk nama anaknya.
Namun kau selalu saja berdalih. Kau sadar betul, betapa menyesakkannya menjadi wali bagi orang yang teramat kau kasihi. Dan kau tak ingin merasakan hal yang menyakitkan itu dua kali.
Tujuh tahun berselang, kau kembali dihadapkan pada peristiwa yang bisa saja membuat dirimu hampir kehilangan kewarasanmu. Perempuan itu, adik sekaligus seorang yang kau cintai itu meninggal seperti halnya sang induk semang –tertabrak trus pengangkut sampah ketika hendak berbelanja dengan suaminya. Saat kau mendengar kabar itu, kau langsung lari dari bertumpuk-tumpuk berkas yang hendak kau kerjakan, menghadiri tempat kejadian perkara dan turut mengantarnya ke rumah sakit. Kau juga turut menghadiri dan mengurus prosesi pemakamannya.
Kau barangkali kembali teringat apa yang kedua orangtuamu rasakan dulu. Saat itu, anak dari perempuan itu yang masih berumur tujuh tahun. Tanpa tedeng aling-aling kau berusaha membawanya ke rumahmu dan mengurus segala tetek-bengek hak asuh anak itu. Meskipun orangtua dan adik dari si suami perempuan itu turut campur, kau berusaha keras agar hak asuh anak dari perempuan itu jatuh ke tanganmu meskipun pada akhirnya kau gagal.
Namun itu tidak serta merta membuatmu menyerah, kau tetap turut memperhatikan perkembangan anak dari perempuan itu. Sesekali kau datang kerumah mertua dari perempuan itu untuk menjenguk si anak, mengajaknya pergi dan memberinya hadiah. Bahkan kau turut serta membimbing agar anak itu mendapat pendidikan yang layak dan turut pula kau bantu biayai. Kau berpikir, saat anak itu sudah mendapat gelar sarjana barulah kau bisa tenang.
***
“Maaf aku terlambat,” katanya.
Kau tersenyum, sembari fokus melihat wajahnya. Wajah yang sungguh mirip dengan perempuan itu, katamu dalam hati. Ia kini baru saja lulus dan mendapat gelar sarjananya. Lalu kalian pun bercerita diselingi sesapan kopi tubruk pesananmu dan vanilla latte hangat pesanannya.
“Aku pikir aku sudah cukup dewasa, dan nenek pun bilang agar aku segera menikah, bagaimana menurutmu,” tanyanya.
“Apa kau sudah menentukan pilihanmu? Kupikir menikah itu bukan urusan mudah. Namun jika itu sudah pilihanmu, aku tentu akan mendukungmu,” jawabmu.
“Kau saja belum merasakan menikah.”
“Kata orang sih begitu.”
“Aku sudah menentukan pilihanku, kupikir orang itu ialah yang paling tepat. Aku sadar betapa ia mencintaiku dan orang itulah yang membuatku enggan untuk melihat pria-pria lain. Masalahnya, apakah orang itu sudi menikahi perempuan yang berumur jauh di bawahnya?” tanyanya sambil menunduk.
“Bukankah lebih baik jika ia telah mapan dan mampu menghidupimu, tapi jika ia benar-benar mencintaimu, kupikir ia akan menerimamu,” katamu sembari kembali menyesap kopimu.
“Apakah kau mencintaiku?” katanya yang membuatmu tiba-tiba tersendak.
“Tentu aku mencintaimu, dengan begitu pula aku akan menyetujui, bahkan bersiap untuk menjadi wali dalam pernikahanmu nanti,” jawabmu tenang.
“Tapi aku takkan memintamu menjadi waliku, tetapi suamiku.”
Kau yang terkesiap mendengar kalimat itu tiba-tiba reflek dengan menjatuhkan cangkir kopi dari genggamanmu, kau berusaha bangun dari mimpi itu, namun kau tak bisa, karena itu bukan mimpi. Lalu dalam waktu yang sepersekian detik itu kepalamu bekerja, kepalamu mengingat-ingat, apakah kau memperlakukannya kelewat batas? Apakah kau pernah menciumnya di bagian lain selain dahinya? Apakah arti pelukanmu itu dimaknai berbeda olehnya? Atau apakah itu hanya lelucon darinya, yang jika benar itu sama sekali tidak lucu.
Kau terus bermain dengan kemungkinan-kemungkinan yang membuat isi kepalamu serasa ingin pecah. Kau ingat, kau memang sering mengajaknya pergi keluar, baik ke tempat makan atau ke taman rekreasi, namun itu hanya untuk membuatmu membantu menyegarkan pikiran dari rutinitas pekerjaanmu. Apalagi sebulan belakangan ini kau tengah sibuk-sibuknya dan tak pernah lagi mengajaknya keluar. Pertemuan ini pun ia yang merencanakannya. Lalu tiba-tiba pikiranmu beralih, kau ingat kembali pada sang induk semang: perempuan itu. Dari perempuan itu masih lugu sampai ia sudah menjadi ibu, memorimu sangat detail ketika harus berurusan dengan perempuan itu. Dan saat cangkir kopimu mencapai lantai, kau pun sadar. Tiba-tiba pengunjung lain menatap ke arahmu –ke arah tepat bunyi cangkir kopi itu jatuh– dan itu sudah cukup untuk menunjukan betapa kikuknya dirimu meski tengah berusia hampir setengah abad.
Selepas itu kau memastikan hendak menuju kamar kecil, dan membayar tagihanmu di kasir. Tanpa memikirkannya kau langsung pamit dengan alasan yang tidak masuk akal, keluar dari kafe itu dan melaju dengan kendaraanmu. Malam itu kau tak pernah tahu ke mana kau akan menuju, yang jelas kau ingin betul menghindari malam itu, yang ada di kepalamu, gila betul cinta itu.
Waktu sudah menunjukan pukul sembilan pagi, namun kau masih tidak tahu akan ke mana, padahal dari semalam kau hanya keliling-keliling saja, berhenti di tengah jalan, terdiam sesaat, lalu kembali jalan lagi. Kau berhenti saat merasakan haus, melihat-lihat warung kelontong, keluar untuk membeli minuman, namun saat minuman itu sudah di tanganmu, tiba-tiba kau merasa tidak membutuhkannya. Kau juga tiba-tiba saja merasa sakit dan membutuhkan obat, akhirnya kau memutuskan menuju apotek, kau hendak masuk apotek, namun saat barang yang kau beli ada di tanganmu, dalam sekejap sakitmu hilang. Saat kau dapati penjual gorengan kau pun bertindak serupa, sampai kursi sebelahmu telah penuh oleh pembelianmu yang tidak berguna itu. Akhirnya, selepas matahari mendidihkan kepalamu, kau sadar dan memiliki tujuan yang jelas, yaitu TPU tempat perempuan itu dimakamkan.
Kau sadar, kau baru saja menyakiti hati anak dari perempuan itu, anak dari perempuan yang begitu kau cintai itu, perempuan yang kini kau sambangi tempat peristirahatan terakhirnya. Kini kau merasa tak layak lagi untuk mencintainya, pikirmu perempuan itu mungkin takkan memaafkan tindakanmu yang telah melukai hati anaknya, anak satu-satunya yang begitu ia kasihi.
Kau tahu, dari sekian banyak obat yang tersedia di apotek, kau lebih memilih arsenik, lalu kau campurkan arsenik itu ke dalam minuman yang kau beli dan meminumnya sampai habis. Kau sadar, sadar betul, kau tidak gila, hanya saja peristiwa malam itu membuatmu sedikit berubah bak seorang filsuf yang terus-menerus bermain dengan pikiran. Pada akhirnya kau juga merumuskan sebuah teori besar yang menyatakan bahwa bagaimapun cinta itu bekerja, ia tetap metafisik dan tak mampu untuk membunuhmu.
Dalam kematianmu, kau barangkali begitu konservatif untuk memaknai sebuah hubungan atau cinta. Padahal kau sadar, kau pun mencintai hal yang tidak konservatif –mencintai adik angkatmu sendiri. Kau pun sadar dan pernah mendengar tentang kisah-kisah ganjil perihal bagaimana cinta itu bekerja, di mana seorang anak yang begitu mencintai ibunya dan ingin memperistrinya, lalu kisah seorang raja yang lebih mencintai para selirnya ketimbang istrinya sendiri, lalu kisah tentang raja jahat yang begitu biadab dalam memperlalukan selirnya namun harus kikuk dan bertekuk lutut ketika berhadapan dengan seorang dewi yang ia tawan, lalu kisah seorang raja yang rela bunuh diri dengan memilih berperang dengan kerajaan yang jauh demi menuruti perintah sang istri yang tidak lain adalah Ibunya sendiri. Kau barangkali telat menyadari semua itu, tentang bagaimana cinta itu bekerja dengan berbagai keganjilannya.
Dan, dalam kematianmu yang singkat itu, kau tak pernah tahu bagaimana gadis itu begitu mencintaimu. Bagaimana gadis itu melihatmu begitu memperhatikannya dengan segenap ketulusan hatimu, bagaimana gadis itu berpikir bahwa hal yang ia lakukan itu keliru, hingga ia menyangkal bahwa ia begitu mencintaimu, dan bagaimana ia begitu bersemangat ketika si nenek memberi tahu bahwa kau bukan kakak kandung dari Ibunya. Kau tahu, itu semua terjadi karena ia berpikir ia bisa menjadi milikmu seutuhnya. Bukan hanya sebatas anak asuh.
Dan kau.
Ah, barangkali ini sudah terlampau telat, dan lagipula kaupun sudah mati.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …