Ada yang selalu berdenyar indah dalam hati saya ketika almanak menunjuk angka 17 setiap bulannya. Itu adalah tanggal yang saya tunggu-tunggu selain tanggal gajian suami. Saya adalah ibu rumah tangga yang kesehariannya tak jauh-jauh dari urusan domestik dan antar jemput anak sekolah menggunakan motor matic dan menguasai jalanan pada jam-jam tertentu. Namun, selain semua urusan itu, sebagian kecil waktu saya, saya gunakan untuk bersenang-senang dengan buku. Saya mengelola sebuah perpustakaan, dan menjalankan sebuah armada pustaka bergerak menggunakan motor matic jika sedang selow.
Lalu mengapa hati saya berdenyar macam orang jatuh cinta tiap tanggal 17?
Begini. Setiap tanggal 17 saya bergembira merayakan Hari Proklamasi Buku Bergerak. Sejak bulan Mei 2017, berturut-turut setiap bulan tanpa pernah absen, saya selalu pergi ke kantor pos mengirimkan paket-paket buku untuk perpustakaan di berbagai wilayah di Tanah Air. Saya memanfaatkan fasilitas program Free Cargo Literacy yang digulirkan oleh Presiden Jokowi.
Sejak bulan Mei 2017, melalui PT Pos Indonesia, pemerintah membebaskan ongkos kirim paket buku untuk perpustakaan, taman bacaan, dan aktivis-aktivis pustaka di seluruh Indonesia. Untuk bisa mendapatkan fasilitas tersebut, perpustakaan atau taman baca cukup mendaftar di Simpul Pustaka Bergerak Indonesia. Saya mengirim buku-buku untuk mereka yang alamatnya sudah terdaftar dalam database Simpul Pustaka Bergerak. Setiap bulan, secara bergiliran.
Gerakan masif pengiriman buku ke berbagai pelosok tanah air ini membuktikan bahwa orang baik yang peduli pada pendidikan dan literasi di Indonesia itu tak kurang-kurang. Paket buku yang terkirim melalui PT Pos Indonesia ini setiap bulannya terus meningkat. Dari pertama kali bulan Mei 2017 kiriman paket seberat 729 kg senilai Rp. 34.620.627,00 hingga pada Desember 2017 kiriman mencapai 16.678 kg senilai Rp. 940.354.688,00.
Kegiatan mengirim buku untuk perpustakaan-perpustakaan di berbagai pelosok Indonesia ini selalu berhasil melempar ingatan saya pada masa kecil dan seluruh perjalanan hidup saya yang bergeronjal, hingga berkali-kali saya tertungging-tungging di jalan nasib.
Saya melewati masa kecil tahun 80-an, sebagai seorang bocah yang gila bacaan. Sayang sekali, minat menggebu yang saya miliki tidak sebanding dengan kemampuan orang tua saya membelikan buku. Saya hanya seorang anak buruh tani dan pembuat tempe,yang untuk hidup sehari-hari saja harus hompipah membagi penghasilan.
Bacaan pertama saya adalah koran-koran bekas yang dibeli kiloan sebagai bungkus tempe. Ketika orang tua saya menyadari anaknya selalu membongkar gulungan koran dan membacanya dengan tekun, mereka mulai mencari majalah-majalah anak dalam los kertas bekas itu, dan menggabungkannya dengan timbangan koran bungkus tempe.
Saya mengalami hal seperti itu hingga remaja. Ketika mulai sekolah SMA jauh dari keluarga, saya mulai menyimpan uang saku untuk membeli buku. Perpustakaan adalah tempat istirahat favorit, yang selain karena memang uang saku saya sedikit, juga karena di sana saya selalu menemukan muara untuk memenuhi kehausan saya akan bacaan.
Ketika lepas masa sekolah dan masuk dunia kerja, saya pun masih tetap mencintai buku. Saya selalu menyisihkan uang gaji untuk membeli buku. Selain membaca, saya juga menulis. Dari menulis ini, koleksi buku saya makin bertambah.
Tahun 2007 saya memenangi sebuah lomba menulis tingkat nasional. Saat itu saya sudah menikah dan tinggal di desa mengikuti suami saya. Dari momen lomba itu, saya bertemu dengan orang-orang di dunia buku yang juga mengelola kegiatan pustaka. Saya terpicu untuk mengikuti langkah mereka. Saya selalu merasa gembira berada di antara buku dan bacaan-bacaan. Maka tak ada ruginya jika kegembiraan yang sama saya bagi pula untuk orang di sekitar saya.
Tahun berikutnya, saya mulai mengangkut buku dan majalah-majalah wanita di keranjang sepeda yang saya bawa keliling kampung sambil berjualan makanan. Saya menyasar pembaca dari kalangan ibu-ibu seperti saya, karena memang koleksi bacaan saya juga adalah buku-buku dan majalah wanita. Saya menamai pustaka ini sebagai Pustaka Untuk Ibu. Aktivitas pustaka pertama saya ini berjalan tersendat. Orang-orang kampung melihat aneh seorang penjual makanan yang meminjam-minjamkan buku dan majalah secara gratis. Karena aneh, maka sebagian mereka mengabaikan, mencibir, bahkan menolak. Namun saya berangkat dari rasa gembira, maka energi saya untuk terus menjalankan pustaka itu tetap ada. Sikap abai, cibiran, dan penolakan itu tidak menghentikan saya.
Sayang, kehidupan tak selalu berjalan mulus. Tahun 2012 saya terpaksa harus memasukkan seluruh buku ke dalam dus, dan melakbannya. Keluarga saya terkena masalah finansial yang memaksa saya pergi meninggalkan anak dan suami untuk bekerja di Taiwan, sebagai buruh migran. Pustaka Untuk Ibu yang saya jalankan, harus berhenti.
Satu setengah tahun saya bekerja menjadi perawat lansia dengan akses yang sangat terbatas terhadap dunia luar. Saya bekerja 7 hari seminggu tanpa libur. Keadaan seperti itu membuat saya terancam gila. Sudahlah saya perih menahan kerinduan pada anak dan keluarga, tekanan pekerjaan dan kebosanan juga mendera tanpa ampun di tanah orang. Untung saja saya masih bisa menemukan bacaan dan buku-buku berbahasa Indonesia meski sangat terbatas. Saya masih bisa mendapatkan buku-buku dengan cara membelinya di toko Indonesia secara daring atau menitip kawan yang bisa keluar saat hari libur. Kecintaan saya terhadap buku tidak luntur. Dan itu yang menjaga saya tetap waras.
Saya harus berterima kasih pada penemu internet, karena dengannya saya bisa mengikuti pergerakan dunia meski raga saya selalu terkurung di balik jendela. Di Taiwan, selain makin rajin membaca, saya juga jadi rajin menulis. Saya menulis artikel dan cerita fiksi yang secara rutin dimuat oleh media berbahasa Indonesia di Taiwan. Semua itu saya lakukan menggunakan fasilitas sebuah telepon tablet dan jaringan internet, tanpa keluar rumah.
Tahun 2014, saya memenangi sebuah lomba menulis untuk para buruh migran dari 4 negara yang diselenggarakan oleh pemerintah Taiwan. Itulah tiket pertama saya untuk mendapatkan liburan setelah dua tahun bekerja. Dari lomba tersebut saya bertemu dengan sesama buruh migran yang juga mencintai buku dan bercita-cita mendirikan perpustakaan untuk umum di Indonesia kelak jika mereka kembali ke tanah air.
Bersama kawan-kawan sesama buruh migran itu, kami mengikrarkan sebuah gerakan yang kami beri nama GEMAS (Gerakan Masyarakat Sadar Baca dan Cinta Sastra). Kegiatan kami saat itu adalah saling bertukar bacaan dan mengumpulkan donasi buku. Anggota GEMAS juga menggalang iuran seikhlasnya untuk persiapan pendirian perpustakaan di Indonesia kelak jika ada anggota yang pulang ke Tanah Air.
Gerakan kami di Tanah Formosa membesar karena didukung oleh Brilliant Times, sebuah NGO yang mengelola perpustakaan Asia Tenggara di Taiwan. Mereka memberi kami fasilitas tempat untuk mengadakan pertemuan, serta membantu mengurus perizinan penggiat pustaka dari Indonesia untuk menggelar lapak baca di tempat umum.
Tahun 2015, saya adalah anggota GEMAS pertama yang menyelesaikan kontrak kerja dan pulang ke Indonesia. Saya langsung membuka kembali koleksi buku Pustaka Untuk IBU yang saya simpan selama tiga tahun. Saya mendirikan perpustakaan di sebagian bangunan rumah tinggal saya di desa. Donasi buku dari kawan-kawan sesama buruh migran selama di Taiwan menjadikan perpustakaan (yang telah berganti nama menjadi GEMAS) semakin lengkap.
Sekali lagi saya harus berterima kasih pada penemu internet dan pendiri Facebook, karena menggunakan fasilitas itu kegiatan pustaka saya menjadi semakin luas diketahui oleh orang-orang baik. Salah satunya adalah seorang dermawan dari Yogyakarta, yang tanpa ragu memberi saya satu truk buku. Dermawan itu adalah pemilik penerbitan yang kelak menerbitkan novel pertama saya. Dermawan-dermawan lain yang mengetahui pergerakan saya juga terus mengalirkan bantuan. Dan berkat bantuan-bantuan itu, tahun berikutnya GEMAS kembali bisa mendirikan perpustakaan yang kedua dan ketiga di Kediri dan Kroya.
Gerakan saya tak berhenti sampai di situ saja. Kecintaan saya terhadap buku dan kegiatan pustaka membawa saya bertemu dengan simpul-simpul pustaka lain di sekitar saya. Bersama mereka saya mengembangkan kegiatan menjadi pustaka bergerak, menggelar lapak-lapak baca di tempat umum, dan membantu berdirinya simpul-simpul pustaka baru.
Satu per satu kawan saya sesama buruh migran yang dulu berikrar bersama dalam GEMAS pulang ke tanah air. Mereka juga mendirikan pustaka-pustaka mandiri untuk umum di tanah kelahirannya, menebar kegembiraan melalui buku-buku. Hingga saat ini, GEMAS sudah memiliki lima titik pustaka.
Saya benar-benar menemukan kebahagiaan di sini. Berada di antara buku dan orang-orang yang tak pernah lelah menebar ilmu. Saya bekerja tanpa ada yang membayar. Tapi apa lagi yang diharapkan jika bahagia dan rasa berharga sudah membayar semua lelah?
Jauh-jauh hari saya sudah sadar diri bahwa saya hanya seorang ibu rumah tangga yang kebetulan begitu selow mau mengusung buku ke sana kemari. Saya bergerak karena rasa gembira, tanpa memikirkan visi dan misi berat yang tak terjangkau otak yang telah sesak oleh cabai bawang dan segala perkara dapur. Energi yang menjadi bahan bakar gerakan ini adalah kegembiraan dan rasa merdeka. Masa kecil saya yang begitu sulit hanya untuk mendapatkan bacaan, terbayar tuntas saat ini ketika saya bisa mendapatkan semua buku nyaris tanpa batas. Tak ada ruginya jika rasa itu sekarang coba saya bagi pada sebanyak-banyaknya orang.
Ada rasa bahagia yang tak bisa saya jelaskan ketika mengetahui beberapa kilo buku kiriman saya mengapung bersama ribuan ton paket buku dari orang-orang baik di langit nusantara setiap tanggal 17. Apalagi ketika akhirnya mengetahui senyum lebar anak-anak di pelosok negeri bergembira menerima paket buku yang tak seberapa dari saya.
Saya masih sangat meyakini bahwa gerakan ini adalah sebuah kebaikan. Selayaknya udara, kebaikan akan semakin meluas dan membesar ketika dibagi dan ditebar.
You might also like
More from Bermain
Mainan Tradisional Jaman Dulu: Warisan Budaya yang Membangkitkan Nostalgia
Mainan Tradisional Jaman Dulu: Warisan Budaya yang Membangkitkan Nostalgia Mainan tradisional jaman dulu memiliki pesona tersendiri yang membedakannya dari mainan modern. …
Mainan Jaman Dulu yang Terlupakan
Mainan Jaman Dulu yang Terlupakan Di sudut-sudut desa dan lorong-lorong kota, masih tersimpan kenangan tentang mainan jaman dulu yang kini mulai …
Nostalgia dan Dinamika Suara Radio Elshinta Jakarta
Nostalgia dan Dinamika Suara Radio Elshinta Jakarta Awal Mula Elshinta: Melodi dan Berita di Udara Jakarta Radio Elshinta resmi diluncurkan pada 14 …