Pada tahun 2002, almarhum Pramoedya Ananta Toer pernah diundang ke Zurich, Swiss untuk membincangkan karyanya. Acara tersebut dihadiri oleh banyak kalangan. Sebagian besar dari mereka terbagi atas dua kelompok; orang Indonesia dan orang Swiss.
Ketika sesi pertanyaan dibuka, para hadirin pun mulai mengajukan pertanyaan. Orang-orang Swiss mengajukan pertanyaan dengan pendek dan lugas saja. Sangat berbeda dengan orang Indonesia yang sungguh panjang sekali pertanyaannya. Bahkan mungkin lebih panjang dari jawabannya.
Orang Indonesia terlalu bertele-tele ketika mengajukan pertanyaan. Padahal, inti pertanyaannya hanya secuil saja.
Hal yang sama juga terjadi ketika Frankfurt Bookfair dihelat pada Oktober 2015. Dalam serangkain acara tersebut, ada sebuah diskusi panel yang membahas buku Amba karya dari Laksmi Pamuntjak dan Pulang karya Leila S Chudori. Dua buah novel yang ceritanya mengangkat tema betapa muramnya sejarah Indonesia pasca kehancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965.
Ketika sampai pada sesi pertanyaan, tiba-tiba Taufik Ismail—penyair gaek yang memang sudah sohor dikenal sebagai pakar anti Komunis—mengajukan pertanyaannya. Ya, lagi-lagi pertanyaannya bertele-tele. Sangat khas Indonesia sekali, tapi kali ini sedikit beda. Karena Taufik Ismail hampir menghabiskan seperempat waktu diskusi.
Ia membawa secarik kertas seperti seorang pengkotbah di atas mimbar. Ia menceritakan kisah partai komunis di berbagai negara dengan sangat panjang sekali. Panjangnya persis seperti sebuah pidato panjang kenegaraan. Sampai seorang moderator asal Jerman berkali-kali ingin memotong pertanyaannya karena waktunya memang sudah habis.
Padahal dalam pertanyaannya, Taufik Ismail sebenarnya hanya hendak bertanya, “Partai Komunis Malaysia saja bisa berdamai dengan pemerintahannya. Lantas, kenapa Partai Komunis Indonesia tidak?” Begitu kira-kira pertanyaannya. Tapi kita maklum tentang kakek yang memang sudah begitu akut wahamnnya.
Namun, sebetulnya dua penggal kisah itu hanya menunjukkan corak manusia Indonesia. Barangkali juga saya dan Anda. Memang, orang-orang kita—saya juga sering menemuinya di berbagai macam acara diskusi—lebih suka bertele-tele ketika bertanya. Mereka seperti ingin menunjukkan bahwasanya mereka tidak bodoh. Padahal, etika bertanya pertama-tama harus dilakukan dengan mengakui kebodohan itu sendiri. Karena, jika sudah pandai dan tahu jawabannya, apa fungsinya bertanya?
Tapi begitulah. Budaya snob—pamer teori a la intelektual—memang lekat dengan orang Indonesia. Semata-mata agar nampak pintar dan bijak bestari. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, alih-alih ingin memamerkan kecerdasannya, yang ada justru kedunguan yang malah ditonjolkan. Pak Taufiq Ismail adalah contoh paling konkret dari corak manusia Indonesia ini. Sebuah corak yang semestinya juga dimasukkan Mochtar Lubis dalam bukunya yang masyhur itu: Manusia Indonesia. Karena kalau tidak snob, bukan orang Indonesia namanya.
Jadi pak Taufiq Ismail yang terhormat, kami sangat menunggu tulisan Anda yang snob itu di Semay Media. Karena kami juga punya jargon yang sedikit mirip: “kalau tidak snob, bukan Semay namanya.”
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …