Logika sebagai kunci kesadaran dan kecerdasan dalam berargumen adalah keyakinan yang aku anut sejak aku bekerja. Keyakinan ini juga aku terapkan dalam twitwar (diskusi via twitter) yang berlangsung selama 3 minggu terakhir ini.
Jujur saja, tadinya aku sudah mau berhenti menulis mengenai Logical Fallacy, tapi ada satu peristiwa yang setidaknya, bagiku, bersejarah yang membuatku merasa terpanggil untuk menulis sekuel Logical Fallacy ini. Aku akan menceritakan peristiwa ‘besar’ tersebut dan kemudian memberikan tips kepada kalian, pembaca tersayang. Tulisan ini adalah penutup dari kampanye kesadaran mengenai Logical Fallacy. Setelah membaca artikel ini, aku berharap kalian bisa menjadi lebih baik dalam berargumen.
Padamulanya, seorang teman menyarankan untuk berdiskusi mengenai “logika” dengan seorang dosen UI (Universitas Indonesia) yang bernama R*cky G*r*ng (RG). Perlu diketahui, bahwa aku sama sekali tidak mengenal sosok RG ini sebelumnya. Karena aku tipikal orang yang senang ngobrol, maka aku turuti saja sarannya.
Kukirim cuitan singkat dan link tulisanku yang kedua ini ke RG, dan lantas kumintai pendapat beliau.
Beliau pun merespons dengan statement yang menggelegar, “dalam produksi hoax, yang utama adalah Argumentum ad Verecundiam karena produsennya ada di Istana, pusat segala kuasa,” cuitnya. Hmm, aku terdiam sejenak, berusaha memahami balasannya. Kemudian, aku mengirim tulisanku yang pertama dan aku bilang, “argumentum ad verecundiam sudaha kubahas di artikel yang pertama, Pak”. Tak ada balasan lagi dari RG ini.
Setelah feedback RG, aku pun penasaran dengan sosok beliau. Kukepoin timeline-nya, dan kudapati satu pola/tren di mana si RG ini suka sekali “menuduh”/ menuding penguasa. Entah siapa yang dia maksud sebagai “penguasa”. Apakah sang penguasa adalah pemerintah pusat atau pemerintah daerah? Apakah sang penguasa adalah ketua ormas atau atasan beliau? Aku pun mulai mencoba menganalisa situasi yang terjadi kemarin di DKI.
Kita sama-sama mengetahui dan tidak bisa memungkiri bahwa Pilkada DKI 2017 mengandung unsur politik sara. Kita semua mengetahui siapa pembuatnya, dan siapa korbannya. Sudah banyak pengamat politik yang menganalisa dan banyak artikel yang ditulis. Kalau situasinya seperti itu, ya okelah sumber hoax adalah penguasa: orang berduit yang ingin mencapai ambisinya dengan menghalalkan segala cara termasuk isu sara. Pasalnya, luarbiasa lho pengaruh hoax yang dibalut isyu sara atau sara yang dibalut hoax. Ah, sudahlah. Sedih rasanya mengingat hal tersebut.
Kemudian, aku pun kepo membaca cuitan komentar follower RG. Ada yang membantah dan ada yang mendukung cuitan RG. Tapi banyak pendukung yang kemudian menafsirkan bahwa “penguasa” dalam cuitan RG adalah Pak Jokowi, presiden kita saat ini. Terus terang saya kaget bukan main! Bahkan ada yang mencuit begini, “kami tidak membenci pancasila, kami hanya ingin presidennya bukan Jokowi,” sebut si akun NyaiCintaNKRI.
Hah? Aku pun melongo saat membacanya. Aku pun kembali membaca cuitan para fans RG satu per satu. “Bong, Cebong, Sendal Jepit, IQ200 sekolam, lem aibon,” adalah makian yang digunakan RG dan fans fanatiknya dalam interaksi cuitan mereka. Sontak aku mendekap mulut sendiri. Apa-apaan ini? Ini percakapan macam apa? Di mana logikanya? Sama sekali tidak mencerminkan kecerdasan sekaligus kesopanan. Hanya umpatan semata, betapa semenjana! Sungguh memalukan dan menyayat hati.
Kemudian aku memutuskan untuk menyoroti hal ini dan bertanya kepada sang “guru”. Saya bertanya, “Prof, pernah berpikir untuk meluruskan komentar dari follower anda yang agak keliru menafsirkan cuitan anda? Permainan asumsi persepsi dan ego menyerang sana-sini kemudian justifikasi segalanya. Maka pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengubah polapikir seseorang?” Pancingku.
Kemudian Sang Guru menjawab, “Lho, anda juga follow saya. Jadi anda mewakili mereka? Anda menyebut paham logical fallacy, tapi barusan anda melakukan fallacy: Pars pro toto fallacy. Kendalikan egomu.” Saya bengong. Mari kita analisa, apakah respons dari RG adalah sebuah jawaban yang logis.
Pertama, RG seakan mengatakan bahwa saya mewakili follower beliau, padahal saya secara spesifik menyorot sebagian follower RG yaitu follower yang agak keliru menafsirkan cuitan RG. Saya tidak bilang kalau saya mewakili mereka, kan? Kedua, RG menuduh saya melakukan logical fallacy pars pro toto (sebuahmajas yang digunakan sebagian objek untuk menunjukkan keseluruhan objek). Silakan google nggak usah malas. Hmm, maka bukankah justru RG yang melakukan pars pro toto dengan menyiratkan bahwa saya mewakili follower, beliau? Kenapa malah menuduhku melakukan logical fallacy yang dia lakukan? Kenapa jadi maling teriak maling? Itu impresi partamaku terhadap cuitan tersebut.
Aku pun melanjutkan twitwar dan mengatakan bahwa, “saya tidak mewakili follower anda dan saya memanggl netizen lain sebagai saksi.” Si RG malah menuduh saya melakukan Red Herring fallacy (logical fallacy yang menggunakan topik gak nyambung (irrelevant argument) untuk mengalihkan perhatian pembaca/ pendengar/ lawan bicara dari isyu mula-mula, dari percakapan semula). Saya kembali terbengong-bengong. Kenapa beliau melakukan “maling teriak maling” untuk kedua kalinya? Kenapa malah menuduku sebagai pihak yang salah? Wah, termasuk Argumentum ad hominem dong. Saya pun mengatupkan kedua bibir saya. Terimakasih deh RG atas diskusinya yang penuh kepalsuan kata-kata dan pemakaian logical fallacy.
Oke, selanjutnya aku pun tetap melanjutkan cuap-cuap di twitter dan berusaha menyebarkan pengetahuan mengenai logical fallacy yang sudah aku tulis sebelumnya. Tapi, apa yang aku terima? Hujatan dari fans fanatik RG dan dukungan dari netizen yang logis. Kata-kata caci-maki hujatan dari fans fanatik RG itu mengerikan lho Bung dan Nona. Rasanya, aku ingin menggosok mulut mereka dengan spons cuci piring spons Brite. Kesel rasanya tapi tentu saja sebagai orang yang logis, aku tidak boleh membalas makian mereka dengan makian. Justru aku harus membantu mereka menyadari kekeliruan mereka. Oleh karenanya, aku ingin membagikan tips berargumen dengan cerdas sebagai berikut:
- Selalu gunakan pikiran, bukan emosi perasaan. Ingat, “I think, therefore I am.” ~Rene Descartes
- Lihat pilihan kata-katanya, apakah kalimatnya konsisten dengan kalimat sebelumnya.
- Belajar menganalisa asumsi dan persepsi yang tersembunyi di balik untaian kata lawan bicara. Apa sesungguhnya tujuan dan maksud dari kalimat yang dia lontarkan?
- Selalu sampaikan segala sesuatu dengan relativitas, karena bukankah tidak ada yang absolut di dunia ini? Hati-hati, dengan kata “semua” atau “tidak ada.”
- Jangan pernah melontarkan argumen balasan kalau kamu gak ngerti apa yang disampaikan oleh lawan bicara. Gunakanlah jasa mbah Google atau buku-buku yang pernah kamu bedah sebelumnya.
Akhir kata, pikirkanlah bagaimana cara melatih diri, orang tua, dan teman-temanmu untuk bias berargumen dengan cerdas. Jangan jadi orang cerdas yang sendirian, ya. Silakan bagikan tulisan ini kepada teman-teman dan keluargamu, tak perlu malu! Coz sharing is caring, isn’t it? Ajak mereka untuk menghindari logical fallacy. Mari tumbuh, berkembang, dan cerdas bersama dan membangun kehidupan yang lebih baik!
KISS: Keep It Simple and Sane.
XOXO
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …