Angin Selatan berlalu, mengusap rona Jingga di balik embun. Angin Selatan tak pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diri Jingga. Angin Selatan hanya seorang sahabat yang turut setia merangkul Jingga dan Fajar. Hembusannya yang lalu bermaksud agar Fajar tak terluka oleh lukisan manis Jingga. Namun, ia tak menyangka jika Fajar akan murka terhadap Jingga.
“Jika berlalu aku turut melukaimu. Maafkan aku sahabat. Aku tak tahu jika hembusanku akan menjadi badai. Badai yang melukaimu. Bahkan badai yang memutuskan tali antara kau dan Fajar”
“Angin Selatan, sungguh hembusanmu tiada salah. Badai itu aku. Aku yang telah menjadi badai untuk hidupku sendiri. Aku ingin kau sampaikan mimpiku kepada Fajar. Aku terluka ditinggal olehnya.”
Angin Selatan menatap sendu wajah Jingga yang sedang berdiri di balik jendela pagi. Dalam hatinya ia selalu bertanya-tanya mengapa Jingga selalu bermuram durja. Mengapa Jingga merelakan lukisannya direnggut oleh Rembulan malam.
Angin Selatan berlalu menyibak pepohonan sepi. Sebagai seorang sahabat Angin Selatan tak pernah tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh Jingga. Yang ia tahu Jingga sedari dulu hanya lukisan alam yang selalu mempermainkan banyak harapan. Jingga yang ia tahu adalah sang hiasan agung dengan banyak pemuja.
“Angin Selatan, bawalah luka ini pergi menjauh. Bisikan luka ini kepada Fajar bahwa aku selalu menantinya…”
Selembar kertas tersusun bait rapi, dititipkan kepada Angin Selatan.
Ronaku tak seindah dulu
Kau pun tak mampu melihatnya
Aku cukup kuat berdiri di sini
Meski kutahu kau sudah bahagia di sana
Aku berharap cahayamu tak pernah redup
Tetaplah memberi senyum ketika pagi melintas di antara kita
Aku tahu tanganku tak cukup bersih untuk kau genggam
Aku tahu aku tak mungkin bisa kembali menatap dunia bersamamu
Aku kini tinggal bersama mimpi yang gelap
Dalam gelap itu aku selalu berharap kau hadir
Meski kutahu sampai kapan pun kau tak akan pernah hadir
Bahkan kau tak akan pernah hadir hanya untuk seberkas senyum
Angin Selatan membawa kabar itu kepada Fajar. Namun, Fajar menepisnya. Fajar pergi menjauh dari bisikan lembut sang Angin Selatan. Dari rautnya Fajar sudah tampak kecewa.
“Fajar, bisikan aku gundahmu. Bisikan aku laramu. Sungguh aku dalam kebingungan, apa yang sesungguhnya terjadi pada, Jingga?”
“Angin Selatan, ibarat Novel picisan. Kisahku dan Jingga sudah berakhir. Lebih baik buku Novel itu ditutup rapat dan tak perlu lagi untuk dibaca. Cukup disimpan hingga kelak ia menjadi pelajaran berharga.”
“Fajar, jika memang kau sudah tak ingin bicara tentang Jingga. Maafkan aku, sungguh aku tak mengerti apa yang terjadi di angkasa sana. Aku tak tahu apa yang telah kalian lewati sehingga terputus hubungan antara Fajar dan Jingga. Yang perlu kau tahu Fajar, pagi tak akan pernah indah tanpa Fajar dan Jingga. Kembalilah jika memang masih bisa bersatu.”
“Angin Selatan, suatu hari kau akan tahu apa yang telah terjadi pada diri Jingga. Dan aku ingin kau tahu itu dari bibir manis Jingga sendiri bukan dari bait ayat yang aku lantunkan di kesenduan gerimis ini. Biarlah kau tahu sendiri dari Jingga yang katanya terluka. Dan perlu kau tahu, aku lebih terluka dari apa yang dirasakan Jingga.”
Fajar berlalu menutup siang meninggalkan Angin Selatan yang terus berhembus ke tepian samudera. Angin Selatan tampak bingung dan bimbang. Ia tak tahu kapan persahabatan ini akan kembali atau memang akan berakhir sampai di sini.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …