Malam yang Tak Disangka
Sejak 2007, Subang – Jakarta sudah menjadi perjalanan wajib setiap minggu. Ceritanya sih menempuh pendidikan selama 5 tahun di sebuah kampus (yang kata orang masyhur padahal kagak) yang terletak di Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.
Ketika masa-masa kuliah saya selalu pulang kalau kehabisan uang. Kenapa? Ya, karena gak punya ATM, hahaha. Begitulah adanya. Hikmahnya, saya jadi hafal betul transportasi apa saja yang harus saya tumpangi.
Yup, karena di kampung tempat saya tinggal gak ada angkot, jadi mama atau bapak lah yang harus antar saya ke pinggiran jalan raya untuk mencegat bus arah Jakarta.
Pada umumnya bus ini sama seperti bus lain, akan tetapi bus yang saya tumpangi adalah bus yang seringkali berhenti di pinggir jalan untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, bahkan di jalan tol. Bus gelo, pikir saya. Tapi ya mau gimana, biar gelo juga yang penting sampai dengan selamat.
Mungkin kalian pernah mendengar yang namanya bus Luragung Jaya? Ya, itulah bus yang saya tumpangi dari awal masuk kuliah sampai saat ini jika harus menggunakan transportasi umum menuju Jakarta.
Awalnya tarif dari tempat saya ke Jakarta hanya Rp 10.000 saja, berangsur naik jadi Rp 15.000 selanjutnya naik lagi jadi Rp 20.000 dan sekarang sudah di kisaran Rp 30.000, bahkan tak jarang si kernet bus meminta Rp 50.000 kalau style penumpang layaknya orang berada, atau sok-sok-an cult gitu deh.
Kalau dilihat dari kecepatan, bus Luragung ini gak usah diragukan lagi, sepertinya semua sopir sudah mahfum betul cara menyetir dengan cepat tanpa bikin body bus-nya lecet. Bahkan, si sopir Luragung ini digadang-gadang memiliki sembilan nyawa. Gak ada takut-takutnya ketika berada di kecepatan maksimum pun.
Bagi yang phobia kecepatan, sebaiknya tak usah naik bus ini. Namun, bagi para pemburu waktu seperti saya, yang ingin cepat sampai tanpa harus berlama-lama di dalam bus yang sesak sama pengamen dan tukang asongan serta para santri yang minta sumbangan (entah gadungan atau beneran) dengan dalih untuk pembangunan masjid, ya bolehlah naik bus ini.
Jadi, jangan lupa sediakan uang recehan kalau naik Luragung Jaya. Karena terkadang beberapa pengamen ada yang kurang bersahabat sama penumpang.
“Bapak-bapak, ibu-ibu saya di sini bukan mau nodong atau maling, saya cuman minta keikhlasan dari bapak ibu sekalian. Uang 500 atau 1000 perak gak bakalan bikin bapak ibu jatuh miskin. Daripada saya harus maling, mending saya teriak-teriak di atas bus ini untuk beli makan.”
Kira-kira seperti itulah orasi para pengamen di atas bus. Sampai-sampai saya hafal setiap kata-katanya. Yang bikin saya kesal adalah kalau lagi tidur malah dikira pura-pura tidur karena gak mau ngasih. Padahal emang beneran capek seharian kuliah atau kerja. Dan seringkali kalau kita ngasih 500 perak, dibilangnya pelit. Katanya seikhlasnya, yahelaaah…
Beda lagi dengan para pemburu ‘cinta’, tak jarang saya ketemu cowok yang minta nomor handphone (awalnya cuma nanya kegiatan sehari-hari), bahkan secara diam-diam mereka melempar kertas ke arah saya yang isinya itu adalah nomor handphone. Sampai segitu usahanya, ya. Udah kaya tempat cari jodoh aja tuh, bus. Haha
Ohya, jangan harap kalian bisa duduk manis pada saat hari Senin atau Minggu, karena bus ini biarpun sudah bejubel manusia dan barang tetap saja si kernet memaksa menaikkan penumpang.
Tak jarang saya berdiri dari awal naik bus sampai nunggu penumpang lain turun. Ya, syukur-syukur kalau ada lelaki baik yang menomorsatukan perempuan untuk bisa duduk. Tapi gak banyak sih yang kayak gitu.
Malam yang Tak Disangka
Suatu ketika pada saat mau pulang kampung (dari Jakarta), saya tertidur pulas mungkin lagi capek-capeknya dan sialnya, astagaaa! Jalan untuk belok ke rumah sudah terlewat jauh. Bergegas saya bangun untuk memberitahukan pada sopir, kalau saya mau turun dan tujuan pemberhentian sudah kelewat terlalu jauh.
Dengan nada meyakinkan, si kernet bilang supaya saya turun di pom bensin depan (Indramayu) karena tempatnya terang dan cukup aman. Kalau sembarangan turun nanti takut kenapa-kenapa, bujuknya. Iya juga ya, pikir saya. Baik juga nih, kernetnya.
Waktu pun berlalu terasa cepat, arloji di tangan menunjukkan pukul 24.00 WIB dan bus terus melaju tanpa berhenti di pom bensin yang telah dijanjikan, maka saya kembali berujar agar secepatnya diturunkan karena sudah semakin jauh dari tujuan saya, tapi kernet dan sopirnya malah menyuruh saya turun nanti saja, soalnya nanti ada bus temannya yang sedang menuju arah Jakarta. Amanlah kalau begitu, kata dalam benak.
Baca Juga: Bus Luragung Jaya dan Hal-Hal yang Belum Selesai
Namun tak disangka tak dinyana, perjalanan semakin jauh dan waktu telah menunjukkan pukul 03.00 WIB. Ya, Tuhan. Ini mah sama kaya perjalanan balik lagi ke Jakarta, jauh dan melelahkan. Kalau Jakarta mungkin jam segitu masih ramai. Tapi Kuningan? Ya, tujuan terakhir bus Luragung Jaya adalah Kuningan. Yang sebelumnya belum pernah saya injak sama sekali. Satu per satu penumpang turun, hingga saya yang tersisa seorang diri di tanah asing ini dengan orang asing pula. “Kenapa gak diturunin pas saya minta turun aja!” Ujar saya sama kernet dan sopir Luragung sekaligus, dengan nada yang amat kesal.
Lalu si sopir pun turun, maka kendali setir beralih ke tangan kernet bus itu. Tinggal kami berdua, saya dan si kernet Luragung. “Tenang neng, nanti neng ke rumah saya aja dulu, main-main biar hafal daerah sini,” rayunya. Si kernet itu pun berhenti di jalan sepi, dan mematikan semua lampu. Oh, no! Dari situ pikiran saya semakin campur aduk, ini orang mau ngapain, hah?!
Saya langsung turun nyari masjid di sekitar situ, tapi gak ada. Saya tanya, bus ke Jakarta ada lagi jam berapa? “Jam 04.00 WIB,” jawabnya. Ternyata dia bohong, pas jam 04.00 WIB gak ada bus sama sekali yang beroperasi. Saya pun meminta untuk diantar ke masjid terdekat, cari aman, cari bantuan, cari orang-orang yang bisa membantu saya dari kekalutan.
Mulanya, si kernet itu menolak, malah nanya nama saya, nomor handphone, pokoknya tentang kehidupan pribadi saya. Saya makin kurang nyaman. Seiring berjalannya percakapan saya pun mencari ide bagaimana caranya biar bisa pergi dari tempat sepi nan gelap ini, yang cuma berisikan si kernet dan saya. Saya takut sekali!
Baca Juga: Harvey Weinstein dan Manipulasi Kewajaran
Saya dibawa ke sebuah tempat yang benar-benar asing bagi saya, bukan terminal atau pun rumah yang punya bus, tapi jalanan sepi, banyak pohon rindang, ada suara air seperti sungai mengalir, dan rumah warga pun tampak berjauhan. Lalu saya bilang, lapar dan ingin buang hajat. Eh, malah dia ngajak ke rumahnya, tentu saja saya menolak.
Saya bilang, saya lagi pengin makan bubur, padahal itu cuma alasan saya biar bisa menjauh darinya. Namun, si kernet akhirnya mau juga carikan saya bubur. Saya dan kernet itu pun masuk bus lagi dan dibilangnya kita menuju pasar. Semoga benar, pikir saya.
Benar, ternyata memang ke pasar dan di pasar pasti ramai, dengan begitu saya bisa minta tolong sama warga sekitar. Sekira 10 menit kita sampai pasar, saya langsung lari ke masjid terdekat dan sialnya, si kernet ikut lari. Malah narik-narik tangan saya. Orang-orang di situ cuma melongo melihat ada anak cewek ditarik sama orang uzur. Dipikirnya perkelahian anak dan bapak, apa?!
Ketemu masjid tanpa pikir panjang, saya lekas masuk dan dekatin ibu-ibu yang baru selesai menunaikan shalat shubuh, saya pun menceritakan semuanya. Dari jarak yang tak terlalu jauh antara saya dan ibu-ibu itu, si kernet teriak-teriak manggil-manggil saya. Dengan sigap para ibu itu nyamperin dan ngomelin si kernet.
Tapi dia tetap keukeuh kalau saya harus ikut bersamanya. Si kernet itu ngaku-ngaku kalau saya tadi sudah mau diajak main ke rumahnya. Ogah banget….Di situ para ibu beradu mulut sama si kernet, kernet bilang A si ibu menyanggahnya dari C sampai Z. Si kernet pun menyerah akhirnya dia pergi.
Salah satu ibu yang berdebat dengan si kernet tadi mengajak saya untuk ke lapaknya di pasar. Alhamdulillah. Saya senang bukan main. Ada perasaan nyaman dan aman. Saya pun menunggu di pasar Luragung dari shubuh sampai pukul 07.00 WIB (awal keberangkatan bus pertama).
Cerita saya pun tak lama kemudian sampai ke pemilik PO. Luragung Jaya, namanya Pak Wawan. Dia bilang gak ada kernet dengan ciri-ciri yang seperti saya maksud. Entah dia cuma berkelit atau gimana. Namun, ah, sudahlah. Yang penting saya selamat dan saya ingin segera pulang ke rumah.
Sebagai tanda permintaan maaf, Pak Wawan pun meminta agar anak buahnya memberikan tumpangan gratis sampai di tempat tujuan saya. Saya pun tak menolak, anggaplah ini sebagai itikad baiknya. Kenapa juga harus ditolak?
Namun, apa yang dilakukan oleh bos Luragung tersebut terasa gak sebanding sama kejadian yang menimpa saya malam itu. Sepuluh tahun PP Subang – Jakarta, baru kali ini jalan rumah sendiri kelewat.
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …