WAKTU menelan Sukri bulat-bulat. Ia menggeliat seperti ulat yang sedang berusaha melepaskan diri dari cengkeraman cakar burung pemangsa. Gagal. Kedua tangan terikat di punggung. Nilon-nilon 12 mili menggulung di pergelangan. Kaki membeku dan membatu, terikat ke kaki kursi kayu Sonokeling yang mulai lapuk dimakan usia. Sukri tak pernah dipindahkan, selalu duduk di sana sejak malam penculikan. Batang kaki dililiti kumparan tali dari kulit pohon Embaru yang dipilin-pilin. Permukaannya bergerigi, kasar.
Sukri teriak. Sia-sia saja. Getar suara dari kerongkongan hanya membentur gumpalan kain handuk yang penuh dengan bercak kotoran, tersumpal di mulut. Kain itu menebar bau busuk, tampak butut, dan basah oleh ludahnya sendiri. Reseptor yang berada di sisi kanan-kiri dan pangkal lidah mengecap kombinasi dari rasa asin, asam, dan pahit. Tak sekecap pun papila-papila di ujung lidah bagian depan merasai manis. Ia merindukan secangkir kopi pahit dan sebongkah gula kawung.
Sukri tersengat lapar. Ia menggigit kain itu kuat-kuat untuk mengalahkan rasa yang mengular di lambung. Dari mencuri dengar obrolan para penyekap, kain kotor itu diolesi tai anjing sebelum disumpalkan ke mulutnya. Ia meronta-ronta. Geraman seekor anjing kampung menyalak-nyalak menemani semalaman, dan setiap malam, tak jauh dari kursi.
Kain perca membelit mata. Sekeliling gelap. Entah berapa hari disekap. Ia pernah menghitung sampai angka tiga puluh. Tapi itu sudah beberapa hari, minggu, atau bulan lalu. Sekarang, ragu. Tidur atau pingsan kini rutin. Sukri menghela napas, berat. Bau ludah dan tai anjing menusuk rongga hidung bercampur amis darah yang menetes dari bergaris-garis luka di wajah. Semalam, juga setiap malam, tiga orang lelaki bergantian memukul. Sukri menolak bicara, satu pukulan, berteriak kesakitan, pukulan lain.
Plakk! Tamparan di pipi kiri menyadarkannya. Aroma alkohol menyeruak. Kemarahan perlahan bangkit, tapi tak berdaya ketika pukulan kedua menghantam pipi kanan. Ia menggeram, berteriak. Hanya suara parau keluar dari mulut. Sekujur tubuh bergetar karena kesakitan dan kemarahan yang memuncak. Sebuah sentakan menyakiti mulutnya, gumpalan kain terlontar, lepas. Ludah berceceran di sekitaran dagu, leher, dan baju. Ia baru saja akan berteriak untuk entah keberapakalinya hari itu ketika telapak tangan sekokoh batu karang kembali menampar mulut yang kini terasa asin. Sukri tercekat.
“Goblok! Ini hari terakhirmu! Jangan macam-macam!” Teriakan lelaki itu memekakkan gendang telinga.
Sukri merinding. Ia akan mati.
“Kenapa aku harus mati?” Sukri keheranan menyadari kalimat itu meluncur mulus dari mulut asinnya.
“Penghasut harus mati!”
“Penghasut?!”
“Kamu menghasut warga!”
“Kamu salah. Aku tak pernah menghasut!”
“Kamu tak mau jual sawahmu, heh! Semua setuju!”
“Semuanya?”
“Sekarang sudah semuanya!”
“Lalu kenapa aku masih harus mati? Kamu sudah dapatkan keinginanmu?”
“Keinginanku? Ini perintah majikan. Proyek perlu tumbal. Beruntung beberapa orang keras kepala. Mereka tumbal yang tepat. Kamu juga akan mati hari ini!”
Sukri bergidik. Lelaki ini jelas akan membunuhnya. Diam-diam ia menyiapkan sebuah rencana.
“Berapa yang mati?”
“Sembilan. Kamu akan jadi kesepuluh. Genap!”
“Di mana mereka dikubur?”
“Kamu pikir kami penggali kubur. Mayatnya dimakan Bleki, anjing yang tainya kami jejalkan ke mulutmu setiap hari!”
Sukri mendadak mual dan sekejap mata berikutnya sudah memuntahkan isi perut, hanya keluar cairan kental. Jadi yang selama ini dikira bubur basi? Tak sanggup melanjutkan berpikir, ia kembali muntah.
Plakk! Tamparan keras kembali mendarat. Sukri menggeram.
“Anjiiing! Bangsaaat!” Sukri berteriak.
“Heh!”
Plakk! Wajah Sukri merah karena darah.
“Pengecut. Kalau kamu jantan, ayo duel! Setaaan!”
Plakk! Wajah Sukri bertambah merah.
Tendangan dadakan mendarat telak di dada. Kursi kayu yang diduduki melayang dan jatuh berdebum dengan tubuh Sukri masih terikat. Sukri merasakan tekanan kuat di dada. Ia yakin kaki lelaki itu pelakunya. Sukri bernapas tersengal-sengal. Tangan kasar lelaki itu menggerayangi kepala, lalu melepas kain perca yang menutupi mata. Kedua mata mereka beradu. Kilatan amarah. Kaki lelaki itu menendangi Sukri.
Setengah jam berlalu. Tendangan bertubi-tubi itu akhirnya berhenti. Keringat membanjiri. Dari saku baju sebelah kanan lelaki itu menarik sebatang rokok, menyalakan korek, dan menghisap dalam-dalam. Setelah rokok berubah menjadi abu ia kembali menendangi Sukri yang hanya bisa menahan rasa sakit yang mendera. Sepuluh menit kemudian lelaki itu kembali berhenti. Keringat mengalir deras di wajah, menyekanya, lalu pergi tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir.
Sukri berusaha bangkit. Berkali-kali, namun gagal. Setengah jam kemudian ia baru berhasil, duduk. Sekujur tubuh terasa remuk. Ia mengedarkan pandangan mata. Untuk pertama kali ia melihat ruangan itu. Menurut perhitungannya, lebar ruangan sekitar 7 meter dan panjang 20, menyerupai persegi panjang. Sukri meyakini tempat itu dulunya sebuah gudang.
Seekor anjing berwarna hitam tertidur lelap di pojokan. Rantai besi sepanjang dua meter menjalar dari leher ke dinding. Di pojok yang berlawanan, meja segi empat dari kayu dengan botol kosong bir di atasnya berdiri kukuh. Kotak asbak penuh dengan abu rokok. Sebilah pisau belati, hah, pisau belati! sekuat tenaga ia menggeret kursi mendekati meja, menggenggam batang belati dengan tangan kanan yang tak mau berhenti bergetar, memasukan bilah tajam pisau di antara kedua pergelangan dan menggerakkan tangan seperti orang sedang menggergaji. Beberapa kali kulit tangan tersayat, namun rasa sakit tak dipedulikan.
Tali itu pada akhirnya putus, lalu Sukri melepas jerat kaki, bangkit dan mendekati anjing hitam yang masih tertidur. Ia mengikat mulut anjing itu dengan kain butut yang selama ini menyumpal mulut, melilitkan sisa tali kulit pohon Embaru di atas kain, meletakkan sisi tajam belati di leher, lalu menggorok anjing itu sekuat tenaga. Anjing itu terkaing-kaing, suaranya teredam kain handuk, menunggu ajal. Tersengat kelaparan, Sukri memotongi dan memakani dagingnya, meminumi darahnya.
Rasa lapar telah hilang. Sukri keluar dari gudang penuh kewaspadaan. Langit di luar gelap. Ia tidak yakin apakah gelap maghrib atau subuh. Sukri mengenali tempat itu. Dalam kegelapan, ia melihat dua tubuh tertelungkup dan tidur pulas di ruangan kecil di pojokan samping gerbang yang dulunya digunakan sebagai pos satpam. Dengan sebuah gerakan cepat ia memasuki ruangan, meletakkan belati di leher salah satu lelaki, menggoroknya sekuat tenaga, lalu berpindah ke lelaki lainnya dan melakukan hal yang sama. Cipratan darah membasahi sekujur tubuh Sukri, ia tak peduli. Sukri menyaksikan malaikat maut bekerja keras merenggut paksa setiap napas mereka hingga ke tarikan terakhir.
Sukri berjalan pergi meninggalkan tempat itu, tersaruk-saruk melewati jalan setapak yang sudah biasa dilewati sejak kecil. Sepanjang jalan ia tak menemui orang lain. Sepi mencekam. Semakin jauh berjalan ia mendapati kenyataan yang menyedihkan. Pepohonan kelapa tak lagi tersisa. Begitu juga nangka, manggis, mangga, rambutan, ah, semua telah ditebang. Kebrutalan itu membuatnya muak. Para pengembang itu pelakunya. Tapi, kemana para tetangga? Kenapa hanya kesepian yang ia temui.
Satu jam kemudian Sukri sampai di lokasi yang diyakini tempat rumahnya berdiri. Segalanya berubah, hampir saja tak dikenali. Juga tidak nampak bangunan yang masih berdiri. Sekitarnya datar. Ia seolah sedang berdiri di tengah gurun pasir. Kemanapun arah yang terlihat hanya hamparan material bangunan yang rata dengan tanah. Termasuk rumah Sukri. Oh, di mana Tuminah istrinya, Supri dan Paijo, anak-anaknya.
Sukri diam mematung. Matanya memanas. Beberapa bulir air mengalir deras dari kelopak mata. Sebuah suara penuh amarah mendengking. Tubuh Sukri bergetar. Ia mengenali pemilik suara itu sebagai lelaki yang tadi memukuli dan menendanginya. Kemarahan butuh tempat pelampiasan. Digenggam gagang belati kuat-kuat. Ia memalingkan wajah dan memutar tubuh dengan sudut 90 derajat ke arah sumber suara. Dilihatnya pria itu sedang berdiri kokoh, berjarak sekitar lima meter, menatap dengan mata berkilat-kilat, tangan memeluk senapan, mengarahkan ujung senjatanya ke Sukri.
Sukri menyerang secepat kilat. Lelaki itu tergagap. Sebilah belati tertancap di dada. Bersamaan dengan itu, jari tangan menarik pelatuk senapan. Dahi Sukri hanya berjarak sepuluh senti. Angin ribut menderu dari ujung senapan dan mendorongnya jatuh terpental, menggelinjang, kemudian diam. Dari dahi yang koyak mengalir deras cairan merah, hangat dan pekat, kemudian meresap ke dalam tanah warisan kakek buyut. Mata melotot ke arah lelaki itu yang sedetik kemudian terhuyung-huyung dan jatuh tepat di sebelah kanan tubuh Sukri yang membujur kaku. Menggelepar-gelepar seperti ikan Cupang tersesat ke daratan. Menghitung napas, tersengal-sengal, lalu gerakannya berakhir. Lelaki itu diam. Waktu telah menelannya bulat-bulat.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …