Era postmodernisme antara lain ditandai oleh pergeseran dari pluralitas interpretasi menuju kemajemukan realitas; yang utama bukan lagi epistemologi dan pengetahuan, melainkan ontologi dan praktek, sebut Willy Gaut dalam bukunya, Filsafat Postmodernisme. Lanjutnya lagi, dalam tatapan tersebut posisi tubuh jadi sangat vital karena ia merupakan ruang perjumpaan antara individu dan sosial, ide dan materi, sakral dan profan, transenden dan imanen.
BACA JUGA: Milisi Nelayan dan Para Kecoa
Tubuh dengan posisi ambang seperti itu tidak saja disadari sebagai medium bagi merasuknya pengalaman ke dalam diri, tetapi juga merupakan medium bagi terpancarnya ekspresi dan aktualisasi diri. Bahkan, lewat dan dalam tubuh, pengalaman dan ekspresi terkait secara dialektis yang berarti tak monologis belaka. Sejenis imajinasi yang mengawang tandang.
Kesadaran akan sentralitas tubuh semacam ini pada gilirannya memicu munculnya pertanyaan dan pernyataan (secara kebahasaan maupun non-bahasa) seputar sifat dasar (nature) tubuh itu sendiri: bagaimana kemandirian dan atau ketergantungan tubuh alami pada kekuatan lain di sekitarnya, kekuatan-kekuatan yang membentuk kesadaran dan pengalaman ketubuhan itu sendiri.
Seni merajah tubuh atau kini yang biasa disebut tato pertama kali dilakukan pada tubuh manusia sekitar 5300 tahun lalu, tergambar pada tubuh mumi Otzi The Iceman yang setelah diteliti memiliki 57 tato pada tubuhnya, yang jejaknya kita bisa temukan di Museum of Archaeology yang terdapat di provinsi South Tyrol, Itali.
Tato, pada mulanya bermakna sesuatu yang suci dan sakral. Pada abad 300-900 SM berbagai perhiasan tubuh itu berkembang pesat pada suku Maya, Inca, dan Aztec. Bahkan, tato sebagai alat medis juga dapat ditemui pada masyarakat Mesir dan Afrika Selatan. Menurut Jared Diamond dalam bukunya, Dunia Hingga Kemarin menyebut jika suku Nuer di Sudan menggunakan tato untuk menandai ritus inisiasi pada anak laki-laki. Pada suku bangsa Kirdi dan Lobi, Afrika Tengah, terdapat tato berukuran kecil di bagian wajah, tepatnya di mulut membentuk desain segitiga yang disebut wobaade.
Tak lain dan tak bukan tato ini bertujuan menghindarkan diri dari gangguan setan. Barangkali persis yang orang portugis lakukan ketika mereka menjejakan kakinya di Hindia-Belanda, mereka percaya bahwa dengan melipat jari setan bakal kabur terbirit-birit hingga kecepirit. Lihat saja jejaknya melalui Meriam Si Jagur yang tegap berdiri di Kota Tua. Sedangkan, di Cina masih menurut Jared, bagi suku Drung dan Dai melakukan perajahan tubuh dan wajah merupakan hal yang galib. Tato digunakan sebagai perlambang dewasa bagi anak perempuan yang memasuki usia 12-13 tahun.
Tato di Berbagai Suku Bangsa Punya Motif dan Ruang Interpretasi Masing-masing
Secara historis, tato telah menjadi sebuah seni merajah tubuh yang umum di kawasan Asia Tenggara pada kurun zaman Niaga, yakni sekitar 1450-1680 M. Dari mulai Jepang, India, Burma, Vietnam, dan juga termasuk Nusantara (Indonesia). Dahulu sekali tato digunakan sebagai penanda status sosial suatu masyarakat. Praktik tato pada abad 17 mulai menyusut ketika berbagai agama besar masuk, seperti Islam dan Kristen. Namun, beriringan dengan menyusutnya tradisi bertato hasil penelitian Jared Diamond menuturkan, para pelaut atau pelancong asal Inggris seperti James Cook telah membawa tato pada masyarakat urban kota dengan hasil penemuannya ketika mengunjungi pulau-pulau di hampir separuh bumi. Sehingga pada hari ini orang-orang kota banyak yang bersolek dengan tato. Hanya beda pemaknaan saja, yang kebanyakan alasan estetik.
Negara brengsek namun indah ini pernah mengalami masa-masa mengerikan pada kurun waktu 1983-1985, khususnya bagi orang-orang bertato. Atas nama stabilitas nasional, Orde Baru, kalau bukan Orde Bobrok, telah mengebumikan ratusan atau boleh jadi ribuan orang-orang bertato karena dianggap sebagai kriminal dengan modus operasi Petrus a.k.a Penembakan Misterius. Pada masa itu pun orang-orang bertato tidak boleh bekerja pada pemerintahan seperti menjadi PNS, ABRI, dan sejenisnya.
Sama seperti di Jepang pada tahun 720 M di bawah Kekaisaran Shogun yang menganggap kriminal bagi orang-orang bertato lantas menghukumnya dengan hukum kaisar, hanya tak sampai dibunuh seperti yang dilakukan Orde Baru atau Orde Bobrok. Tato mulai bangkit kembali di Jepang sekitar tahun 1700 M. Selain sebagai pengungkapan rasa estetis, tato bagi orang kelas menengah bawah Jepang juga dimaksudkan sebagai reaksi disiplin terhadap hukum menyangkut cara hidup konsumtif.
Pada waktu itu orang kaya di Jepang terbiasa mengenakan pakaian dengan hiasan. Maka itu sebagai resistensinya, kaum menengah bawah menghiasi tubuh dengan tato. Pada gilirannya kelompok mafia terkenal seperti Yakuza pun menghiasi tubuhnya dengan tato yang ikonik sebagai identitas kelompoknya. Bahkan, instrumen Negara seperti militer (baca: Samurai) pada era Tokugawa menggunakan tato sebagai penanda bahwa ia adalah seorang Samurai atau hanya untuk sekedar menarik perhatian perempuan pujaan hati.
Sedangkan di Indonesia tato kembali bangkit pasca 1998, setelah lengsernya Soeharto dari tahta mega-kuasa, kredo kebebasan berekspresi menggaung ke seantero negeri mengingat betapa horornya rezim Orde Baru saat itu terhadap ekspresi estetis, termasuk tato.
Problematika Milenial Di Era Informatika
Generasi milenial mulai bangga memamerkan tubuhnya yang penuh tato, meskipun bagi sebagian orang hal ini masih dianggap sesuatu yang devian. Alasan, kenapa tak sedikit dari milenial pada hari ini bertato itu tak lebih dari soalan estetis cuma. Arus modernitas telah mendistorsi dan mereproduksi makna tato pada awal kemunculannya. Tato adat nusantara kini terancam punah. Laju modernisme salah satu penyebab yang pertama, dan yang kedua: tentu saja stigmatisasi yang digencarkan pemerintahan Orde Baru yang masih melekat di ingatan publik. Tak ubahnya film butut yang terus diingat generasi kolot dan dianggapnya sebagai bahaya laten.
Milenial suku dayak Iban kini tak banyak menggunakan tato, jikapun ditemukan tato pada tubuhnya, seperti alasan milenial lainnya ia hanya bersinggungan dengan estetika belaka, keren-kerenan. Siapa yang paling estetis, dialah yang paling cult. Menjadi keren itu cool. Memang tak ada yang keliru tentang itu. Toh, ini bukan soal mana yang tepat dan keliru. Namun, di sisi yang paling tepi, hal ini juga menunjukkan absennya ruang apresiasi terhadap tradisi tato masyarakat adat.
Asumsi bahwa tubuh merupakan entitas yang aneh memang tak bisa diapatiskan begitu saja. Pasalnya, identitas tubuh dapat terserap ke dalam berbagai nilai, prasangka hingga yang terparah, diskriminasi.
Fokus permasalahan tubuh tidak bisa begitu saja dipersempit pada permasalahan penafsiran dan pemaknaan. Sebab, tubuh juga mempunyai koneksitas material dengan relasi kekuasaan sehingga tubuh pun tak lepas dari dimensi politik dan kebijakan Negara. Sejarah keberadaan tubuh sebenarnya adalah sejarah tatanan atau orde, begitu ungkap Willy Gaut yang mencoba menyarikan pemikir Postmodern termasyhur, Jean-François Lyotard.
Tubuh bukanlah entitas yang genetis saja, melainkan juga bersifat evolutif dan diakronik. Sejarah sosial politik dan budaya telah membentuk konsepsi mengenai tubuh sehingga tubuh terserap ke dalam perbedaan klasifikasi sosial, hierarki politik, dan struktur budaya yang pada gilirannya membentuk sebuah orde atau tatanan.
Jika sudah begitu muncullah pertanyaan, milik siapakah tubuhku-tubuhmu ini? Diriku, dirimu, atau negara, huh? Atau mungkin Tika & The Dissidents telah menjawab pertanyaan tersebut lewat lagunya, Tubuhku Otoritasku?
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …