Sudah ada indikator lampu orange dari rice cooker kesayangan. Itu tandanya nasi buat makan siang sudah separuh siap untuk dilaksanakan. Tapi karena baru separuh, ada yang mesti saya lakuin selanjutnya demi mendapatkan makan siang yang jauh lebih ideal dibanding menu bubur siasat kemarin. Saya harus beli lauk untuk, setidaknya, nutupin keseparuhan yang ditinggalkan oleh dua bidak puzzle tadi.
Demi lauk, meski langit mendung, saya cuek saja pergi bertamasya ke warung burjo terdekat dengan berjalan kaki.
Sesampainya di lokasi, saya langsung melipir ngebidik-bidik beberapa menu yang bertengger di kaca etalase. Jujur saja, etalase itu langsung seketika saja ngebuat saya bingung dipenuhi keraguan yang berkecamuk untuk segera memlih opsi. Ada setumpuk ayam goreng, telur ceplok balado, orek tempe, sayur sop, dan semangkuk sambal. Menu-menu yang klasik. Saya pikir, Itu-itu terus dari kemarin.
“Ini ada Tahu kok, Mas, cuma masih dipanasin bentar,” teteh terdengar sigap mengatakannya. Mungkin karena ngelihatin saya yang masang muka bingung di warungnya.
Mendengar itu, saya langsung mutusin untuk menunggu menu tersebut sambil bertanya-tanya seperti apa bentuknya. Nah, karena saya juga termasuk sebagai salah seorang dari sebagian banyak orang yang benci dengan namanya menunggu, akhirnya saya mutusin buat nyeruput secangkir kopi pahit sembari nunggu.
Di tengah-tengah adegan menikmati kopi, hujanpun mulai turun. Dari hujan rintik naik ke hujan lebat, estimasi transisinya begitu cepat. Sedangkan hujan yang lebat turun begitu awet memandikan bumi. Saking lebatnya itu hujan, saya menjadi sedikit khawatir. Belum lagi, genangan air sudah kelihatan di mana-mana.
Kopi masih saya tenggak santai dan tak terburu-buru. Mungkin karena hujan, kopi yang saya pesan itu terasa cepat banget menghangat. Jadi nggak kerasa secangkir penuh itu sudah hampir habis. Sudah setengah lewat dikit. Diikuti pula dengan menu Tahu a la burjo teteh yang entah sejak kapan sudah main masuk ngehias etalasenya—tanpa tindakan prevensi notifikasi.
Masih belum ada tanda-tanda hujan mereda, saya tengok jam dinding warung. Ternyata jarum pendek sudah mendekati angka tiga sama jarum panjang yang kira-kira, kurang lima menit lagi ke angka sebelas. Itu berarti, sudah hampir 180 menit saya bertengger di sana. Mulai dari niat beli lauk, menunggu dengan secangkir kopi, dan ujungnya malah nitip berteduh karena takut dikeroyok bulir-bulir hujan.
Entah sebab apa atau kebetulan semata, hujan mulai mereda di penghujung waktu ashar. Cangkir kopi saya tinggal seteguk lagi sudah habis. Saya rasa, waktunya buat balik ke kos; nyari aman.
Selain itu, mimik perut rasanya juga berubah. Nggak meraung-raung kek di awal tadi. Sepertinya, apa yang ditulis oleh laman Manfaat.co.id yang mengatakan bahwa kopi memang mampu menurunkan tingkat nafsu makan. Kekhasan rasa pahitnya diklaim dapat membekas pada lidah yang secara psikologis; memberikan efek rasa kenyang.
Akibat dari salah satu kemahiran kopi dalam “memanipulasi” itu pula, yang menstimulasi saya buat nggak jadi ngelengkapin puzzle seperti yang semula direncanakan di awal tadi. Yang pada akhirnya, lauk nggak jadi masuk dalam transaksi jual-beli.
Sehingga, terpilihlah opsi yang menurut saya paling demokratis, yakni balik ke kost-an, men-delay seleberasi makan siang, dan membuat perencanaan ulang terkait makan siang. Hal ini semata-mata dilakuin demi kafein dan kawan-kawannya yang berafiliasi dalam mega-aliansi bernama: Kopi—terserah mau kopi jenis apa, model bungkus dan bentuk bijinya gimana, ataupun dari asal mana, di sini tuh, kita sedang ngebahas kopi pakai mode “Bhineka Tunggal Ika” lewat skala macam gencatan perang dingin antara bulat dan datar, di setiap pojok pahatan muka bumi.
* * *
Nah, di jalan, sepanjang jalan pulang ‘ntu saya kepikiran perihal kopi celup rancangan jadwal makan siang. Sampai di depan pintu kamar kost-an—sambil ngegelitikin gembok pakek anak kunci,—keputusan pun fixed muncul lewat dekrit keluaran otak kiri saya. Acara makan siang hari itu resmi dibatalin; diikuti oleh makan malam yang berubah dari status biasa menjadi: Makan Malam Luar Biasa dengan singkatan yang saya sebut sebagai MAMALISA.
Perluditahu nih, MAMALISA merupakan kebijakan (politis) otoritas sepihak dari otak bagian kiri saya. Putusan itu digeber paksa: disebabkan logika politik dari koalisi syaraf pengusung, menggarisbawahi pentingnya menghemat (duit). Salah seorang representasi koalisi pengusung yang tidak diketahui namanya itu, menjelaskan bahwa programnya tidak akan menyediakan porsi lebih buat nge-cover pasokan makan siang yang dibatalkan. Hal itu, lanjutnya, dinilai bakalan sia-sia saja karena kandungan kafein pada kopi dipercaya dapat memicu pembakaran lemak kalori. “Lemak kita itu kan seperti punuk Unta,” terangnya, mengumpamakan.
Ngebayangin MAMALISA pake ayam goreng dengan kuyupnya kuah sop dan potongan-potongan dadu tahu kecap pas masih berasa kenyang itu, memang terasa lebih sejahtera—meskipun liur malah jadi galak ketika ditelan.
Di tengah-tengah enaknya berfantasi, mendadak gejolak akselerasi pun berkontraksi di bagian perut. Saya pribadi yakin, ini gara-gara kopi yang diseruput habis tadi, agresi kelompok mereka melumasi gilda-gilda kerja di perut saya. Fraksi-fraksi perut, secara kolektif; meracau seperti orang galau yang sedang ngigau. “Mual,” katanya.
You might also like
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …
1 Comment
Sangat terperinci dan selalu mantab artikel nya, terimakasih sudah sharing mas