Tiada yang abadi…
Jika aku mampu untuk memecahkan kepalaku, atau meminta dokter untuk suntik mati diriku sekarang. Aku akan melakukannya. Tidak ada yang lebih menyakitkan dan menyesakkan dari mendengarkan lagu putus cinta saat putus cinta. Seluruh lagu yang mendayu itu perlahan menelusuri setiap aliran darah menyita oksigen yang ada dalam tubuh kemudian membuat beberapa sistem tubuh lumpuh, perlahan tercekat, menangis, dan di akhir lagu kau akan mati.
Mati. Dalam ke-fana-an dunia ini, konon katanya tiada yang abadi. Banyak sekali kata ini mencampuri lirik-lirik lagu secara tersirat maupun tersurat. Bahkan ada yang dengan jelas membuatnya sebagai judul lagu. Tiada yang abadi. Nothing last forever. Mula-mulanya aku pikir percintaanku dengan Pria akan selamanya. Rupanya kami hanya mampu bertahan selama dua tahun. Aku yang memilih untuk mengakhiri hubunganku dengan Pria. Awalnya, masalah terjadi karena Pria yang tidak memberikan aku ruang sendiri. Harusnya masalah ini mudah selesai, seperti tengkar-tengkar yang sebelumnya. Hatiku lelah, butuh istirahat. Perlahan aku pikirkan, hidupku memang bukan untuk bersama Pria sebagai suami-istri. Juga, kita tidak mungkin terus menjadi sepasang kekasih. Hidup ini banyak sekali dituntut. Apalagi tinggal di kota ini, tuntutan akan semakin banyak.
Pria menuntutku untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya. Pria menuntutku masuk ke dalam dunia kita. Dunia yang hanya berisi aku dan dirinya, tanpa ada gangguan dari orang lain. Padahal kami hanyalah dua makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Aku harus kembali dengan orang-orang yang sudah menyayangiku lebih dulu dari Pria. Salah satunya diriku sendiri, aku sudah mulai tidak mencintai diri sejak bersama dengan Pria. Entah, apa yang membuatku begitu. Kukira aku merasa begitu dicintai Pria, sehingga tidak butuh lagi cinta diri. Aku meninggalkan Pria untuk kembali menjadi diriku yang utuh.
Mula-mula, aku rasa ini akan mudah. Rupanya, ini hal paling sulit dalam diriku. Aku harus membiasakan diri untuk pergi sendiri. Aku harus membiasakan diri untuk pergi ke bioskop sendiri. Aku tak berkawan sejak menjadi kekasih dan salah satunya teman dari Pria. Aku tiada berkawan, sehingga aku harus bisa bergaul kembali dan memiliki beberapa sahabat dekat meski itu akan terasa sulit. Hidup semakin sulit ternyata setelah tidak bersama Pria. Iya… Pria. Laki-laki baik dalam hidupku yang bersamaku selama dua tahun. Yang di dalam hubungan kami tidak pernah diketahui ibuku. Sebab, Pria adalah Katolik yang taat sedangkan aku berasal dari agama lain dengan Pria. Bukan aku memang yang taat, tapi ibuku yang taat. Lihat, betapa hidup di kota ini dipenuhi banyak problematika dan tuntutan. Tuntutan baru setelah tidak menjadi kekasih Pria adalah untuk tidak kembali lagi ke pelukannya, sebab beda agama. Padahal, hati siapa yang tahu. Tidak terkecuali ibuku. Tidakkah dia mengerti bahwa aku begitu mencintai Pria. Tidakkah dia mengerti bahwa satu tahun lalu aku dan Pria pernah memiliki rencana untuk kawin lari atau hamil di luar nikah. Tentunya ibuku tidak tahu itu semua.
Hal lain yang tidak ibuku dan Pria ketahui. Aku diam-diam memutar lagu dari band kesukaan Pria. Alterbridge. Setiap kali mendengar lagu Watch Over You, dadaku sesak. Aku ingin menangis sejadi-jadinya dan bertanya kepada Pria ‘Siapa yang akan memberiku kekuatan saat aku lemah?’, ‘Siapa yang akan memerhatikanku jika kamu pergi Pria?’, ‘Siapa yang harus mengobati perihku Pria?’. Jika kamu di sisiku saat mendengarkan dengarkan lagu ini, tentunya dengan penuh kepercayaan diri kamu menjawab, kamu. Bagaimana lagi melanjutkan hari-hari dan hidup setelah mendengar lagu ini. Hanya Pria yang mampu membuatku utuh, tapi menjadi aku yang utuh itu sangat belum cukup. Aku harus pergi meninggalkannya. Meninggalkan Pria. Aku tidak lagi sanggup harus menentang ibuku. Semangat Pria kurasa mulai berkurang untuk membuatku tetap berjuang. Semangatnya merapuh, begitu pula keyakinanku untuk menjadi istrinya.
“Di mana, Ya?” Tanya Pria sesaat setelah aku menjawab telepon darinya.
“Bioskop. Mau masuk studio sebentar lagi.”
“Sama siapa?”
“Sendiri. Aku di bioskop biasa. Sudah ya. Bye.”
Aku harap Pria mau menemuiku. Dia memang pasti akan menyusul. Menemani aku makan, minum kopi. Sejak tidak menjadi pasangan kekasih, kami acap kali melakukan hal-hal ini. Bedanya, aku tidak lagi menggenggam tangannya saat berjalan. Aku juga tidak turun satu tangga eskalator kemudian membalik badanku dan menghadap Pria lalu memeluknya, Pria akan mencium keningku sebelum harus menjauh dari eskalator. Teman? Pria maunya lebih dari teman setelah memberikan beribu janji perubahan yang akan dia lakukan jika aku kembali menjadi kekasihnya. Aku belum dapat menerimanya. Selain alasan utamanya adalah ibu, aku suka berjauhan tapi merasa dekat dengan Pria. Meski berulang kali hal ini dinamai mempermainkan Pria. Meski Pria sering kali ingin merebut kebebasan ini kembali.. Ia sering memaksaku untuk menjawab, aku sedang berada di mana? Ia sering memaksaku untuk bertemu. Aku tidak mau terlalu sering bertemu. Sebab aku tidak berani terlalu sering menatap mata Pria. Setiap kali memandangnya, aku selalu ingin bilang ‘iya’ untuk kembali menjadi kekasihnya. Aku mau semua itu datang dari pikiran dan perasaanku sendiri seperti saat dulu aku mengiyakan Pria untuk menjadi kekasihku. Tidak ada intervensi dari siapapun.
“Raya…” Panggil seseorang yang suaranya teramat kukenal. Aku menoleh dan memberikan senyumku, dan menunggunya hingga sampai di sebelahku, “ngopi yuk.” Ajak Pria.
“Tapi aku malas Pria kalau bahasanmu soal balikan. Terus saat tidak dijawab kamu kembali marah-marah dan bilang kalau aku tidak perlu lagi menghubungimu dan bertemu-temu lagi. Hal ini sama menyakitkannya dengan sewaktu kita masih pacaran. Setiap kali berantem kamu selalu minta putus.”
“Ngopi saja. Aku tidak akan bicara apapun.” Jawab Pria mantap. Aku mengiringi jalannya Pria menuju coffee shop.
Aku duduk di hadapan Pria. Selama menjadi kekasihnya, aku tidak pernah duduk di hadapannya. Aku memilih untuk duduk di sebelahnya. Dengan duduk berhadapan seperti ini, aku membiarkan Pria leluasa untuk melakukan hal apapun. Melihat perempuan lain di belakangku. Atau membalas chat yang penting sampai tidak penting tanpa aku mengintip. Aku juga mau Pria memberikanku hak yang sama. Pria menatapku. Tangannya menggenggam tanganku yang berada di atas meja.
“Mungkin ini hal baik juga. Setiap kali bertemu, aku seperti merasakan hal yang sama seperti saat pertama kali bertemu denganmu. Ada deg-degannya. Ada juga rasa takut.”
“Aku setiap waktu merasa begitu. Merasa takut kencannya berakhir gagal karena kamu ngambek.”
“Aku berusaha berubah menjadi orang lebih positif, tapi kamu berkali-kali mengembalikannya untuk negatif. Aku pulang saja Raya.”
Pria. Begitulah. Dia pergi meninggalkanku. Suasana berubah menjadi dingin setelah aku melihat punggungnya semakin menjauh. Hati-hati di jalan, Pria. Kabari aku begitu sampai rumah.
Aku masih memercayai bahwa Pria adalah rumah yang kutuju. Pelabuhan terakhirku. Aku masih percaya, setidaknya aku masih dapat menjadi kekasihnya meski tidak harus menjadi istrinya. Setelah ini, mungkin aku tidak akan menikah. Jika Pria akan menikahi wanita lain pilihannya, yang ia cintai setelah aku. Aku akan ikhlas. Pria harus bahagia.
Aku pulang ke kamarku di rumah ibuku. Kamar ini sesak sejak aku mulai lagi mendengarkan Watch Over You. Bait demi bait dari lirik lagu ini memacu adrenalinku lebih cepat. Aku memikirkan kebahagiaan Pria yang pastinya tanpaku. Aku berusaha menjawab semua tanya yang ada di bait-bait lagu itu. Siapa yang akan menghapus lukaku? Aku. Aku harus bisa melakukan hal itu sendiri tanpa bantuan siapapun. How can you love someone, not yourself? Aku akan lebih mencintai diri sendiri. Lagu ini membuat kepalaku menjadi berat. Rasa ini seperti kantuk tapi aku tidak jua dapat tidur. Aku mematikan lagu itu. Suara seketika berganti menjadi suara sonar yang begitu panjang. Panjang sekali. Tiada jeda, tak terhentikan. Memekakkan telinga, membuat kepala semakin sakit seakan hendak pecah, dan memburai otakku. Suara sonar itu masih terdengar teramat jelas semakin keras dan semakin jelas. Aku sudah berusaha menutup telinga, kurang ajarnya suara itu semakin kuat saat aku menutup rapat kedua telinga. Airmataku keluar. Tubuhku keringat dingin dan mulai bergetar. Aku semakin merasa tidak kuasa menahan tubuhku. Aku tekan tombol segitiga yang sudut lancipnya berada di sebelah kanan music player. Lagu itu terputar kembali. Suara sonar itu mengecil. Aku berlari dengan cepat menuju balkon rumah. Merasakan angin meniup seluruh tubuhku yang mulai terasa ringan. Watch Over You sayup terdengar. Begitupun suara sonar itu.
You long to hear my voice but I’m long gone
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …