Jakarta Akan Bebas Macet
Tapi boong wqwq….
Pernahkah kamu bertanya: Apakah kegembiraan hidup? Sebuah pesta? Sebotol tequila? Sepotong musik blues? Semangkok siomay? Sebait sajak? Sebatang ganja? Seorang istri? Ah ya, apakah kebahagiaan hidup? Selembar ijazah? Sebuah apartemen? Pajero? Headphone Dr.Dre? Orgasme? Pacar? Atau mungkin Jakarta bebas macet?
Jika yang terakhir, mari kubur dalam-dalam harapan. Malah sekadar berharap saja haram hukumnya, tidak pantas kita sematkan Jakarta bebas macet sejak dalam pikiran.
Jakarta adalah Jakarta. Kota yang layak ditinggalkan sekaligus dihidupi.
Urbanisasi dari tahun ke tahun yang tak terbendung semakin membuat kota ini sumpek, sempit, dan pelik. Hampir 45.000-50.000 orang berdatangan setiap tahunnya. Menurut Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, jumlah pendatang baru pada tahun 2015 saja mengalami kenaikan sekitar 3% menjadi 70.593 orang dibandingkan jumlah pendatang 2014 yang berkisar 68.537 orang, dan angka ini setiap tahunnya terus membengkak laksana rekening para koruptor yang kini tertib diperiksa KPK.
Setelah lebaran biasanya orang-orang dari desa berbondong-bondong mengadu nasib ke kota Jakarta. Baik yang berkendara maupun tidak. Tak sedikit yang hanya bermodal nekad tanpa keahlian apapun. Iya, apapun! Samsat Polda Metro Jaya mencatat kendaraan bermotor di Jakarta setiap tahunnya naik 12%. Didominasi oleh pertambahan sepeda motor yang mencapai 4.000-4.500 unit per hari sedangkan kendaraan roda empat 1.600 unit per hari. Berbanding terbalik dengan pertumbuhan jalan Jakarta yang hanya 0,01%.
Bayangkan jika satu rumah ada 3 motor dan 2 mobil? Apa yang terjadi?
Ambil contoh Pulogadung yang adalah nerakanya jalanan Jakarta. Daerah industri yang dibangun sejak 1970-an itu semakin padat dan rapat. Tak siang tak juga malam jalanan bagai formasi berantakan prajurit Orc hendak melawan Kerajaan Elves, terutama dari Jl. Raya Bekasi ke Harapan Indah, ataupun dari Harapan Indah menuju Senen. Berada di tengah “perang” barangkali dibutuhkan kesabaran Ibrahim berkombinasi dengan kebijaksanaan Sulaiman. Betapa ngerinya ribuan motor, mobil, trailer, tronton, bus, tumplek jadi satu dalam satu jalur.
Jika motor saja stuck di kemacetan, bagaimana yang lain-lain? Harap beli es krim dulu di Indomaret terdekat, buwooosque… Tanjung Priok, dan Mampang saja masih ada merayapnya, arah Pulogadung? Gusti nu Maha Agung…. Jarak 200 meter saja dibutuhkan waktu tempuh 30 menit. Mereka yang tidak ingin kena “kutukan perang” mesti berangkat sekurang-kurangnya pukul 05.00 WIB.
Adakah istilah tepat-guna selain bakal tua di jalan apabila begini terus tiap hari?
Jika sudah begitu mau mengeluh komat-kamit, komprat-kampret pun sia-sia belaka. Buang-buang muka pun percuma, tak ada artinya, tak berarti sama sekali bagai smartphone tanpa aplikasi. Seakan Iphone tanpa Siri. Lha?!
Namun mesti diakui juga secara infrastruktur pembangunan di Jakarta ini cepat sekali. Akses apapun tersedia, dipermudah atau tidak dalam pengurusan administrasinya itu lain soal, yang jelas kini terlihat mega proyek yang on progress, dari mulai Fly Over, LRT, MRT, hingga penambahan armada Transjakarta yang harapannya dapat membumilangit hanguskan “kutukan” jahanam tersebut. Tidak terlalu mengherankan sebetulnya mengingat ibukota di negara manapun juga wajib menjadi role model bagi kota-kota kecil lainnya.
Mungkinkah pembangunan infrastruktur yang masif tersebut dapat mengurai kemacetan yang sudah mengakar penuh sejak dalam akar tanah kota Jakarta? Hidup memang selalu dipenuhi kemungkinan-kemungkinan, tapi membangun infrastruktur tidak dengan kemungkinan-kemungkinan, semua mesti diukur, diperhitungkan secara presisi dan matang.
Kendati demikian, harapan akan Jakarta bebas macet sama seperti harapan akan Kolombia bebas narkoba. Untuk itu syahdan, sekali lagi, mari kubur dalam-dalam harapan Jakarta bebas macet. Yang jelas apa yang dirasakan ketika harus berada di kemacetan Pulogadung itu persis sebagaimana yang Seno Gumira Ajidarma terangkan dengan gamblang bahwa,
Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.
Ngeri kaliiiiiiii Tuan, Seno!
You might also like
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …