Hallo teman kawan mas bro/mbak sis, jumpa lagi dengan saya…*eh salah, kirain lagi nge-MC …
Setelah menulis trilogi logika yang membahas mengenai logical fallacy, kali ini saya mau menikahkan yang kata orang-orang hati dengan pikiran, otak kiri dan otak kanan yaitu berpikir kritis dengan empati, ya misalnya dalam memberikan kritik yang membangun gitu deh…
Banyak orang yang alergi dengan kata kritik. Kritik seringkali dilihat sebagai serangan yang menghantam wibawa dan pribadi orang yang dikritik. Ibaratnya, orang itu didorong jatuh ke dalam jurang malu yang tak berdasar. Padahal, sifat dasar kritik itu sebenernya baik untuk menjadi kita better. Kritik yang disampaikan pada orang yang mau mendengar kritik dengan pikiran dan hati terbuka bisa membawa kebaikan pada orang tersebut, atau istilah kerennya adalah receptive.
Lho, itu kan kalok kritikannya membangun, protesmu. Kalok kritikannya kasar dan hanya menyalahkan, bagaimana? Masa kita harus mendengarkan juga yang dari nadanya aja seperti orang ngajak berantem, kak? Sans aja Coy…
Gini, coba denger lagi kata-katamu seperti orang ngajak berantem. Kan belum tentu dia beneran ngajak berantem. Mungkin gaya bicaranya memang seperti itu. Bisa jadi kan? Toh, sudah menjadi pengetahuan umum, temen-temen kita yang berasal dari daerah Sumatra Utara, suku batak dan temen-temen dari Papua memiliki gaya bicara yang lebih “keras” dari pada temen-temen kita yang dari Jawa. (Saya sendiri merupakan anak campuran Batak, Jawa, Belanda, dan Tionghoa yang lahir dan menghabiskan masa kecil di Papua selama 15 tahun, jadi no issue sara, yes)
O gitu ya Kak…Jadi gimana dunk dalam menyikapi kritik? Bagi tipsnya dunk, Kak… Sama minta contoh dunk Kak..
Duh, banyak maunya ya kamu haha. Oke..
Sederhana sebetulnya asal kalian Googled dengan tekun dan rajin pasti kalian akan menemukan nama Mike Leibling yang getol memberikan tips seputar kritik, Leibling dalam bukunya yang berjudul Working with the Enemy: How to survive and thrive with really difficult people. Menyebutkan pada di 9 dengan sub-judul Don’t Take it Personally-Take it Behaviourally Instead.
Mike menjelaskan bahwa ada 5 level yang berbeda secara neurology. Pertama. Lingkungan, di mana kita melakukan sesuatu (aku gak bisa melakukan itu DI SINI). Kedua. Tingkah Laku/Behavior- apa yang tidak bisa kita lakukan (aku gak bisa melakukan ITU di sini). Ketiga. Pengetahuan, Kemampuan- bagaimana cara kita melakukan sesuatu (aku gak bisa MELAKUKAN itu di sini). Keempat. Nilai2 kepercayaan/values, beliefs- mengapa kita melakukan apa yang kita lakukan (aku GAK BISA melakukan itu di sini). Dan yang kelima yakni soalan identitas- siapa kita ketika melakukan apa yang kita lakukan ( AKU gak bisa melakukan itu di sini).
Nah, sering kali saat dikritik, kita menempatkan diri di posisi 4 atau 5, paling sering sih 5, di mana kita merasa “diserang” atau “dipermalukan”.
Nah, biar gak gampang merasa terserang (gak baperan, gak gampang sakit ati), kalok ada yang mengkritik kita, usahakan untuk mengarahkan pertanyaan ke level 1,2,3. Misalnya gini deh, next-nya itu aku harus bagaimana? See level 2, kan. Contoh lain, oke kalo di sini kurang cocok, next-nya menurut kamu, kita adakan di mana? Contoh lain lagi nih, oh kamu gak puas dengan slide presentasi aku, tolong beritahu dunk kamu gak sukanya di bagian mananya? Bisa tolong bantu beritahu aku caranya bikin infografis kayak gimana atau training apa yang bisa aku ikutin buat bantu ningkatin skill aku? Terima kasih *emot senyum dan jangan lupa bilang makasih.
Begitu pula saat kita memberikan kritik ke orang lain. Kebetulan aku sebagai alumni LPDP PK-12 menghadiri acara Welcoming Alumni LPDP yang diadakan di gedung Dhanapala dengan Bu Sri Mulyani sebagai keynote speaker-nya. Acaranya baru-baru ini, kok. Aku berterima kasih atas kerja keras segenap panitia dalam menyelenggarakan rangkaian acara ini hingga alumni night tanggal 7 Mei 2018 itu.
Tarian kontemporernya keren, makanannya lumayan enak, lighting-nya oke, sound-nya oke. Satu pesan dari Bu Sri Mulyani yang aku pegang adalah “agar otak diasah terus untuk berpikir, dan hati tetep dijaga, nurani dan rasa empatinya dipelihara. Kalian adalah kaum elit Indonesia,” betulah nasihat beliau. Aku setuju banget, bahkan aku hampir menulis di wall of hope “jaga logika, critical thinking with empathy”, tapi empatinya gak jadi aku tulis haha.
Anyway, seperti yang sudah diantisipasi, pasti ada dunk kawan-kawan LPDP yang ingin berfoto ria, swafoto dengan Bu Sri Mulyani, sosok inspiratif yang mengawali terbentuknya LPDP. Namun, sayangnya pesan Bu Sri Mulyani tadi mengenai alumni LPDP adalah kaum elit mungkin tidak tersampaikan ke panitia. Alih-alih memberikan waktu 5-10 menit aja buat swafoto bagi para alumni yang mau swafoto, para panitia memberikan aba-aba kepada panitia lain untuk membentuk barisan badan manusia.
Bahkan nih ya, ketika ibu Sri Mulyani sendiri yang berbaik hati mengambil swafoto, panitia masih aja mendorong-dorong peserta. Ironis, ya.
Apakah para alumni LPDP ini dianggap sama seperti orang-orang yang membuat kerusuhan sehingga harus didorong-dorong dan dihalangi sedemikian rupa? Alumni LPDP kan ibarat anak-anak yang antusias ketemu dengan ibunya, bu Sri Mulyani. Berkat visi beliau, LPDP itu ada.
Apalagi acaranya molor sejam dari undangan. Opening ceremony di undangan seharusnya pukul 19.20 WIB tetapi baru dilaksanakan pukul 20.20 WIB. Kita peserta sudah menunggu lama dengan antusias, masa ending-nya seperti itu?
Panitia Welcoming Alumni sebaiknya belajar dari panitia Bappenas yang menyelenggarakan acara Indonesia Development Forum, di mana alumni LPDP disambut baik setelah acara selesai dan bahkan ngobrol-ngobrol sekalian swafoto pun asyik-asyik aja dan malah fotoan berkali-kali dengan Bapak Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.
You might also like
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …